JAKARTA - Dewan Keamanan PBB akhirnya mengesahkan resolusi yang memungkinkan pengiriman pasukan internasional dan pemerintahan transisi di Jalur Gaza.
Keputusan ini menjadi landasan bagi Indonesia untuk menindaklanjuti janji Presiden Prabowo Subianto di Majelis Umum PBB terkait partisipasi TNI dalam misi perdamaian.
Menteri Luar Negeri Sugiono menekankan bahwa Indonesia siap berkontribusi, asalkan mandat PBB jelas dan imparsial. “Indonesia siap berkontribusi dalam proses penjaga perdamaian.
Detail implementasi, modalitas, dan yang utama adalah mandat resmi dari PBB yang imparsial harus sesuai dengan semangat perdamaian,” ungkap Sugiono.
Rancangan resolusi Amerika Serikat menyiapkan pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional (IISF) di Gaza selama dua tahun, yang berfokus pada keamanan pascakonflik.
Pasukan ini akan melibatkan personel dari berbagai negara anggota PBB, bertugas menjaga perbatasan Gaza, melindungi warga sipil, serta memfasilitasi jalur kemanusiaan dan pelatihan polisi lokal. Indonesia memantau perkembangan resolusi ini dan masih menunggu pembahasan lebih lanjut di tingkat PBB.
Selain itu, mandat PBB mencakup peran tambahan bagi pasukan dalam mendukung implementasi perjanjian perdamaian, termasuk demiliterisasi Gaza dan pelucutan senjata kelompok bersenjata.
Sugiono menekankan pentingnya mandat yang jelas agar pasukan perdamaian dapat bekerja efektif tanpa menimbulkan ketegangan baru. Indonesia berharap kehadirannya dapat memberi kontribusi nyata bagi stabilitas regional dan keamanan warga sipil.
Kesiapan TNI dan Peran Indonesia
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Freddy Ardianzah menyatakan bahwa Pasukan Garuda tinggal menunggu perintah Presiden Prabowo Subianto untuk digerakkan ke Gaza. TNI bersama Polri dan kementerian terkait sudah menyiapkan koordinasi logistik dan operasional bagi misi perdamaian.
“TNI siap untuk digerakkan kapan pun. Namun pelaksanaan pengiriman pasukan masih menunggu mandat resmi dari PBB dan keputusan dari pemerintah,” kata Freddy.
Menurut Freddy, kesiapan TNI menunjukkan komitmen Indonesia dalam mendukung perdamaian dunia serta misi kemanusiaan internasional. Presiden Prabowo sebelumnya menyampaikan bahwa Indonesia siap menurunkan sedikitnya 20 ribu personel TNI dalam misi perdamaian di beberapa negara yang tengah konflik.
Personel ini memiliki pengalaman operasi militer selain perang (OMSP), serta dilengkapi fasilitas medis, ambulans, dan peralatan konstruksi.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menambahkan, pemerintah Indonesia memiliki dua jalur untuk mendapatkan restu pengiriman pasukan, yakni melalui PBB atau koordinasi dengan negara-negara terkait konflik.
Negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Yordania, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab diharapkan mendukung rencana ini. Sjafrie menekankan bahwa restu dari Israel juga diperlukan karena keterlibatan negara tersebut dalam masalah keamanan Gaza.
Strategi dan Pengalaman Operasional TNI
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak menegaskan kesiapan personel TNI untuk misi perdamaian di Gaza. Ia menekankan pengalaman panjang TNI dalam OMSP di berbagai negara membuat personel mudah diterima masyarakat setempat.
“Kultur kita berbeda dengan tentara lain sehingga kita bisa cukup dipandang baik di luar,” jelas Maruli. Hal ini menjadi modal penting untuk memastikan misi perdamaian berjalan efektif dan aman.
Personel yang disiapkan dilengkapi kemampuan medis, sanitasi, serta konstruksi darurat, termasuk alat berat dan rumah sakit lapangan.
Dengan persiapan matang, TNI diharapkan mampu menjalankan misi kemanusiaan sekaligus mendukung stabilisasi wilayah pascakonflik. Kesiapan ini juga sejalan dengan janji Presiden Prabowo yang menekankan kontribusi aktif Indonesia dalam menjaga perdamaian global.
Selain itu, koordinasi lintas kementerian dan aparat penegak hukum di Indonesia menjadi kunci keberhasilan pengiriman pasukan.
Pemerintah menekankan bahwa pengiriman pasukan tidak hanya bersifat simbolis, tetapi benar-benar memberikan dampak positif bagi stabilitas Gaza. Dukungan logistik, latihan personel, serta kesiapan administrasi menjadi aspek krusial agar misi dapat terlaksana dengan lancar.
Tantangan dan Perhatian Pakar
Para pakar hubungan internasional menyoroti perbedaan antara pasukan perdamaian dan pasukan stabilisasi.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia Broto Wardoyo mengingatkan bahwa pasukan stabilisasi memiliki potensi sifat ofensif karena menjaga ketertiban, sehingga risiko konflik tetap ada. Potensi ini harus menjadi pertimbangan Indonesia agar pengiriman pasukan tidak memicu ketegangan tambahan di Gaza.
Selain itu, 20 poin perjanjian gencatan senjata yang diumumkan AS termasuk pelucutan senjata Hamas.
Jika pasukan Indonesia menjadi pasukan inti, bukan sekadar pendukung, kemungkinan konflik dengan kelompok bersenjata tetap ada. Indonesia harus menyiapkan strategi mitigasi risiko agar kontribusi kemanusiaan tidak berubah menjadi keterlibatan konflik langsung.
Meski demikian, peluang Indonesia untuk menunjukkan peran aktif dalam perdamaian dunia tetap besar. Dengan mandat PBB yang jelas, koordinasi internasional yang matang, serta kesiapan TNI yang sudah teruji, Indonesia dapat menegaskan posisi sebagai negara berperan aktif dalam misi kemanusiaan global.
Keputusan ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat reputasi Indonesia di kancah internasional sekaligus membantu stabilitas di Gaza.