JAKARTA - Peningkatan aliran investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, kenyataannya lonjakan tersebut belum sepenuhnya tercermin pada rasio pajak nasional. Meski realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) terus meningkat, tax ratio atau rasio pajak justru cenderung stagnan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kualitas dan dampak riil dari investasi yang masuk.
Research Assistant BSI Institute, Sayyaf Rabbaniy, menjelaskan fenomena ini dengan istilah phantom FDI, yakni investasi yang secara hukum tercatat tetapi tidak menunjukkan aktivitas ekonomi yang nyata.
Banyak modal yang masuk hanya tercatat secara administratif, tanpa memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal maupun serapan tenaga kerja.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan adanya lonjakan FDI dari yurisdiksi pajak rendah, seperti Bermuda, British Virgin Islands (BVI), dan Kepulauan Cayman.
Investasi dari negara-negara ini cenderung fluktuatif dan dominan di sektor dengan serapan tenaga kerja minimal, seperti industri kertas, logistik, dan jasa.
Kondisi ini meningkatkan risiko praktik profit shifting oleh perusahaan multinasional yang memanfaatkan anak perusahaan di negara dengan pajak rendah, sehingga kewajiban pajak di Indonesia bisa ditekan.
Dampak Phantom FDI terhadap Efektivitas Kebijakan Fiskal
Fenomena phantom FDI berpotensi menggerus basis pajak nasional dan menurunkan efektivitas kebijakan fiskal. Menurut Sayyaf, akumulasi praktik semacam ini menjadi salah satu faktor mengapa rasio pajak Indonesia menurun meskipun realisasi PMA terus meningkat.
Praktik offshore financial centers (OFCs) ini memanfaatkan kerahasiaan pajak dan yurisdiksi bebas pajak untuk mengalihkan laba, yang secara langsung mempengaruhi pendapatan negara.
Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan kualitas investasi yang masuk. Tidak semua FDI memberikan manfaat ekonomi nyata, sehingga langkah antisipatif sangat dibutuhkan. Misalnya, sistem klasifikasi dan penyaringan investasi dapat diperkuat agar setiap aliran modal benar-benar menciptakan nilai tambah bagi ekonomi domestik.
Hal ini sejalan dengan rekomendasi BSI Institute untuk mengadopsi praktik internasional terkait beneficial ownership transparency, yang menekankan keterbukaan struktur kepemilikan perusahaan sebagai bagian dari kepatuhan fiskal.
Selain itu, memperhatikan investasi dari negara yang menawarkan kepatuhan dan nilai tambah, dibanding sekadar yurisdiksi bebas pajak, menjadi strategi penting. Labuan IBFC di Malaysia menjadi contoh alternatif.
Meski menawarkan tarif pajak rendah, Labuan IBFC dikenal transparan, memiliki struktur hukum berbasis common law, dan akses ke lebih dari 70 perjanjian pajak berganda (Double Taxation Agreement/DTA). Pendekatan ini bisa menjadi model bagi Indonesia untuk menarik modal yang lebih produktif dan patuh terhadap regulasi pajak.
Peluang Meningkatkan Kualitas FDI
Selain pengawasan ketat terhadap phantom FDI, Indonesia juga bisa meningkatkan kualitas aliran investasi melalui insentif yang jelas. Pemerintah dapat menargetkan sektor-sektor dengan dampak ekonomi nyata dan kemampuan menyerap tenaga kerja.
Misalnya, industri manufaktur modern, teknologi informasi, dan energi terbarukan dapat menjadi fokus agar FDI tidak hanya tercatat secara hukum, tetapi juga mendukung pembangunan ekonomi jangka panjang.
Strategi lain adalah memperkuat koordinasi lintas lembaga, seperti antara BKPM, Kementerian Keuangan, dan Direktorat Jenderal Pajak, untuk memastikan transparansi dan kepatuhan investasi.
Dengan cara ini, pemerintah bisa meminimalkan praktik offshore financial centers yang merugikan dan meningkatkan kontribusi pajak dari investasi asing.
Sayyaf menekankan bahwa keterbukaan struktur kepemilikan perusahaan asing adalah kunci. Setiap modal yang masuk harus mampu dibuktikan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi lokal.
Dengan memadukan pengawasan, insentif tepat sasaran, dan adopsi praktik internasional, fenomena phantom FDI bisa dikurangi, sehingga peningkatan investasi benar-benar berdampak positif terhadap penerimaan negara.
Langkah Strategis Pemerintah dan Masa Depan FDI
Dalam menghadapi tantangan phantom FDI, pemerintah memiliki peluang untuk membentuk ekosistem investasi yang sehat. Salah satunya dengan mendorong transparansi kepemilikan, memperkuat sistem pengawasan, dan menarik investor yang berorientasi pada kepatuhan pajak dan penciptaan nilai ekonomi nyata.
Labuan IBFC menjadi contoh yang bisa dijadikan acuan. Investasi dari sana tetap menarik karena menawarkan tarif pajak rendah namun transparan, struktur hukum jelas, serta kemudahan akses perjanjian pajak berganda.
Indonesia bisa mengembangkan mekanisme serupa agar FDI yang masuk benar-benar produktif, bukan sekadar tercatat secara administratif.
Selain itu, pemerintah bisa memanfaatkan digitalisasi dan sistem informasi fiskal untuk memantau aliran modal masuk secara real-time.
Dengan memanfaatkan teknologi, risiko pengalihan laba dan praktik offshore financial centers bisa diminimalkan. Pendekatan ini akan menjaga rasio pajak Indonesia tetap sehat, meski realisasi FDI terus meningkat.
Lonjakan investasi asing memang menunjukkan minat investor terhadap Indonesia, namun pemerintah perlu memastikan kualitas dan dampak riil investasi tersebut.
Dengan strategi yang tepat, termasuk pengawasan, transparansi, dan insentif berbasis nilai tambah, fenomena phantom FDI dapat diminimalkan, dan pertumbuhan ekonomi akan lebih inklusif serta rasio pajak Indonesia meningkat.