Mendidik Anak Berempati

Mendidik Anak Berempati Demi Cegah Kekerasan dan Perundungan Sosial

Mendidik Anak Berempati Demi Cegah Kekerasan dan Perundungan Sosial
Mendidik Anak Berempati Demi Cegah Kekerasan dan Perundungan Sosial

JAKARTA - Perilaku empatik bukanlah sesuatu yang tumbuh dengan sendirinya, melainkan hasil dari proses belajar dan teladan yang diperlihatkan sejak masa kecil.

Psikolog Klinis Forensik sekaligus Anggota Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK), Kasandra Putranto, menjelaskan bahwa pembentukan empati anak harus dimulai dari keluarga, di mana orang tua menjadi panutan utama.

Ia menegaskan bahwa orang tua perlu menjadi model empati dalam keseharian agar anak dapat meniru dan menerapkannya di lingkungan sosial yang lebih luas. 

“Jika seseorang belajar sejak kecil bahwa kekerasan tidak dapat diterima dan mengandung konsekuensi yang tegas, tentu mereka akan lebih berhati-hati dengan setiap tindakan maupun ucapannya,” ujar Kasandra.

Menurutnya, anak belajar dari apa yang mereka lihat setiap hari. Ketika orang tua bersikap sabar, menghargai perbedaan, dan memperlakukan orang lain dengan hormat termasuk asisten rumah tangga, pedagang, atau seseorang yang berbeda pendapat anak akan meniru perilaku itu. 

Dari situlah nilai empati tumbuh dan membentuk dasar kepribadian yang menghargai sesama.

Mengenalkan Empati Lewat Percakapan dan Contoh Nyata

Selain menjadi teladan, Kasandra juga membagikan langkah praktis agar anak lebih mudah memahami perasaan orang lain. Ia menyarankan agar orang tua mengajak anak berdialog menggunakan pertanyaan terbuka yang bersifat reflektif. 

Misalnya, ketika anak menyaksikan seseorang diejek, orang tua bisa bertanya, “Menurutmu, kalau kamu ada di posisinya, bagaimana perasaanmu?”

Pertanyaan semacam ini membantu anak mengenali perspektif emosional orang lain. Dengan cara itu, anak belajar bahwa setiap tindakan atau ucapan dapat berdampak pada perasaan seseorang. Diskusi ringan semacam ini menjadi latihan penting dalam membentuk sensitivitas sosial dan kemampuan anak untuk berempati.

Kasandra menekankan, percakapan yang konsisten antara orang tua dan anak tidak hanya memperkuat ikatan emosional, tetapi juga menanamkan nilai moral secara alami. 

Anak akan tumbuh memahami bahwa menghormati perasaan orang lain adalah bagian dari interaksi sosial yang sehat. Dengan begitu, mereka lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan perundungan ketika beranjak dewasa.

Mengendalikan Paparan Media dan Lingkungan Digital

Empati anak juga dapat terhambat jika terlalu sering terpapar konten kekerasan atau perilaku negatif di media, terutama di platform digital. 

Dunia maya sering kali membuat batas emosional antarindividu menjadi kabur. Ketika anak terbiasa melihat kekerasan verbal atau ejekan sebagai hiburan, mereka berisiko kehilangan kemampuan membedakan mana perilaku yang pantas dan mana yang menyakiti.

Kasandra menyarankan agar orang tua tidak hanya melarang anak menggunakan media, melainkan mendampinginya secara aktif. “Orang tua perlu mengajak anak-anak menganalisis isi media bersama, bukan hanya melarang,” ujarnya. Dengan demikian, anak dapat memahami bahwa tidak semua hal di dunia maya patut ditiru di dunia nyata.

Pendampingan yang tepat akan membantu anak memilah informasi yang sehat, memahami konsekuensi dari tindakan daring, serta belajar menolak perilaku negatif yang muncul di lingkungan digital. 

Pendekatan ini menjadi penting agar anak tumbuh dengan keseimbangan emosional di tengah derasnya arus informasi dan konten yang mereka konsumsi setiap hari.

Empati sebagai Kunci Mencegah Perundungan di Masa Depan

Kasandra menegaskan, membentuk empati sejak dini merupakan langkah krusial untuk mencegah munculnya perilaku perundungan di masa depan. Anak yang terbiasa memahami perasaan orang lain akan lebih sadar bahwa setiap ucapan dan tindakan memiliki dampak emosional bagi orang di sekitarnya. 

Dengan demikian, mereka tumbuh menjadi individu yang menghargai perbedaan dan tidak mudah melakukan kekerasan, baik secara fisik maupun verbal.

Kasus perundungan yang baru-baru ini terjadi di lingkungan kampus menjadi cerminan pentingnya nilai empati dalam kehidupan sosial. Enam mahasiswa Universitas Udayana diketahui melakukan olok-olok di media sosial terhadap rekan mereka berinisial TAS (22) yang meninggal dunia. 

Tindakan tersebut menuai kecaman luas karena dianggap nir-empati dan tidak menghormati korban. Akibatnya, keenam mahasiswa tersebut diberhentikan secara tidak hormat dari universitas.

Pihak kampus telah membentuk tim investigasi untuk menelusuri dugaan perundungan yang dialami TAS semasa hidupnya. Korban ditemukan meninggal dunia di gedung kampus FISIP Universitas Udayana dan sempat dilarikan ke rumah sakit sebelum dinyatakan meninggal. 

Kasus tragis ini menjadi pengingat bahwa kurangnya empati dapat berujung pada perilaku yang menyakiti orang lain dan menimbulkan luka sosial yang mendalam.

Menanamkan empati sejak dini bukan sekadar soal pendidikan moral, tetapi juga tanggung jawab sosial untuk menciptakan generasi yang lebih peduli dan menghargai sesama. 

Dengan bimbingan, keteladanan, dan pendampingan yang konsisten dari orang tua, anak-anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang kuat secara emosional dan berperan positif di tengah masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index