Gen Z

Gen Z Indonesia Belum Punya Rumah, Ini Akar Masalah Sebenarnya

Gen Z Indonesia Belum Punya Rumah, Ini Akar Masalah Sebenarnya
Gen Z Indonesia Belum Punya Rumah, Ini Akar Masalah Sebenarnya

JAKARTA - Meski dikenal sebagai generasi paling melek finansial dan digital, sebagian besar Gen Z di Indonesia ternyata masih jauh dari kepemilikan rumah pribadi.

Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2019 mencatat, ada sekitar 81 juta anak muda Indonesia yang belum memiliki hunian. Harga rumah yang terus melambung memang sering disebut sebagai biang keladinya, namun faktor itu bukan satu-satunya penyebab.

Generasi produktif, tapi belum berdaya beli

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2025 penduduk usia produktif Indonesia diproyeksikan mencapai lebih dari 164 juta jiwa, setara 68% populasi nasional. Di antara angka itu, 62 juta di antaranya merupakan Gen Z—yakni mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012.

Bagi Gen Z yang kini mulai memasuki usia akhir 20-an, kebutuhan akan tempat tinggal sebenarnya sudah muncul. Banyak dari mereka sudah bekerja, bahkan berkeluarga. 

Namun survei Indonesia Industry Outlook (IIO) 2025 dari Inventure menunjukkan, dua dari tiga Gen Z kelas menengah merasa pesimis dapat membeli rumah dalam waktu dekat—baik secara tunai maupun melalui skema cicilan.

Ketika ditelusuri lebih jauh, 65% responden yang merasa pesimis memberikan tiga alasan utama:

Harga properti yang terus meningkat (80%).

Pendapatan yang dianggap terlalu rendah (45%).

Pekerjaan yang tidak stabil atau belum tetap (34%).

Angka tersebut tidak mengherankan jika melihat data BPS per Februari 2025 yang menunjukkan rata-rata gaji penduduk Indonesia hanya Rp3.094.818 per bulan, sementara untuk kelompok usia 15—29 tahun rata-rata penghasilan hanya sekitar Rp2,4 juta per bulan.

 Dengan nominal tersebut, banyak anak muda kesulitan menabung untuk sekadar membayar uang muka rumah, apalagi mencicilnya.

Melek investasi tapi prioritas berbeda

Menariknya, di tengah keterbatasan daya beli, Gen Z justru menunjukkan tingkat literasi keuangan yang lebih baik dibanding generasi sebelumnya. Era digital membuat mereka lebih sadar pentingnya mengelola keuangan, termasuk investasi.

Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat hingga Agustus 2025 terdapat 18 juta investor pasar modal, dan 54,23% di antaranya berusia di bawah 30 tahun. Data Bappebti bersama sejumlah platform kripto lokal juga menunjukkan, pada September 2024 lebih dari 60% investor kripto di Indonesia berasal dari kelompok usia 18–30 tahun.

Melihat angka itu, sekilas tampak bahwa Gen Z punya peluang untuk mengumpulkan modal membeli rumah lewat investasi. Namun, kenyataannya tidak semudah itu. 

Survei YouGov bertajuk “Rising Costs, Resilient Minds: Indonesia’s Personal Finance Outlook 2025” mengungkap, prioritas pengeluaran Gen Z justru lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan gaya hidup.

Sebanyak 21% responden menempatkan perawatan kecantikan sebagai prioritas utama, disusul 20% yang memilih belanja pakaian, dan 14% lainnya mengaku menghabiskan lebih banyak uang untuk makan di luar rumah.

Prinsip YOLO dan tren “soft saving”

Gaya hidup Gen Z yang dikenal dinamis dan ekspresif turut membentuk pola finansial mereka. Prinsip YOLO (You Only Live Once) mendorong banyak anak muda untuk menikmati hidup sekarang, alih-alih menunda kesenangan demi membeli aset besar seperti rumah.

Namun bukan berarti mereka tidak punya kesadaran menabung. Gen Z cenderung menabung dengan cara fleksibel dan santai, yang dikenal dengan istilah soft saving—menyisihkan uang tanpa tekanan besar untuk tujuan jangka panjang. Bagi Gen Z, rumah bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga perpanjangan gaya hidup. 

Berdasarkan survei Deloitte “2025 Gen Z and Millennial Survey”, sebanyak 65% Gen Z bersedia membayar lebih untuk produk atau layanan yang mengedepankan keberlanjutan (sustainability), termasuk hunian yang ramah lingkungan.

Mereka juga mengutamakan lokasi strategis dengan akses transportasi mudah dan fasilitas lengkap yang menunjang keseharian mereka.

Gaya hidup digital nomad dan pandangan baru soal “rumah”

Tren digital nomad yang berkembang pesat pascapandemi COVID-19 juga turut memengaruhi cara pandang Gen Z terhadap kepemilikan rumah. Banyak anak muda kini bekerja secara jarak jauh dari mana saja, baik dari kafe, coworking space, hingga kota atau negara lain, hanya bermodalkan laptop dan koneksi internet.

Kebebasan lokasi kerja itu membuat banyak Gen Z merasa tidak perlu “mengikat diri” dengan kepemilikan rumah tetap. 

Berbeda dengan generasi X atau baby boomer yang melihat rumah sebagai bentuk investasi jangka panjang, Gen Z cenderung memilih instrumen investasi likuid seperti saham dan kripto, yang dianggap memberikan imbal hasil lebih cepat dan fleksibel.

Mereka baru akan mempertimbangkan membeli rumah ketika sudah yakin dengan lokasi, gaya hidup, dan jenis hunian yang benar-benar sesuai kebutuhan. Artinya, rumah bukan lagi simbol kesuksesan, melainkan bagian dari pilihan hidup yang lebih sadar dan terukur.

Fenomena sosial-ekonomi yang perlu dipahami

Fenomena “Gen Z belum punya rumah” bukan semata-mata cerminan ketidakmampuan finansial, tetapi juga hasil perubahan nilai dan prioritas hidup generasi muda. Mereka tumbuh di era digital yang serba cepat, di mana kepemilikan aset tidak selalu identik dengan kebahagiaan atau kestabilan.

Namun di sisi lain, tantangan struktural seperti kenaikan harga properti, pertumbuhan upah yang lambat, dan kurangnya akses pembiayaan yang ramah milenial dan Gen Z tetap menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan industri perumahan.

Untuk memahami lebih dalam mengenai fenomena ini, publik dapat mengikuti podcast Ruang Ratih dari Semen Merah Putih, yang akan membahas topik ini lebih mendalam. Episode pertama tayang 17 Oktober 2025 di kanal YouTube dan Instagram resmi @semenmerahputih.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index