JAKARTA - Kolaborasi strategis antara raksasa energi pelat merah, PT Pertamina Patra Niaga, dengan sejumlah badan usaha (BU) swasta seperti VIVO dan kemitraan BP-AKR, semakin menunjukkan titik terang.
Sinyal kuat telah diberikan oleh Pertamina bahwa pengiriman perdana bahan bakar minyak (BBM) murni (base fuel) kepada BU swasta tersebut dijadwalkan akan terealisasi pada akhir Oktober 2025.
Perkembangan ini menandai babak baru sinergi di sektor hilir migas nasional, khususnya dalam menjamin ketersediaan pasokan.
Kepastian mengenai kelanjutan proses pembelian ini disampaikan langsung oleh Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun.
Ia mengungkapkan bahwa VIVO, APR (perusahaan joint venture antara BP dan AKR Corporindo Tbk), dan AKR telah mencapai kesepakatan untuk menindaklanjuti proses teknis yang diperlukan sebagai bagian krusial dari mekanisme pembelian base fuel dari Pertamina.
“VIVO, APR, dan AKR sudah sepakat untuk menindaklanjuti pembicaraan lebih teknis dan tindak lanjut tahap selanjutnya,” tegas Roberth dalam keterangannya kepada Kontan, yang dihubungi pada hari Senin 6 Oktober.
Proses teknis yang kini sedang berjalan mencakup serangkaian langkah yang terstruktur dan komprehensif. Roberth merinci bahwa saat ini tengah dilakukan penyusunan dokumen penting, di antaranya adalah pernyataan anti-monopoli, anti pencucian uang, dan anti penyuapan.
Komitmen ini memastikan bahwa transaksi berjalan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
Setelah dokumen-dokumen tersebut rampung, tahapan berikutnya adalah pihak BU swasta menyampaikan secara spesifik kebutuhan komoditas yang mereka perlukan.
Sebagai respons, Pertamina akan mengirimkan kembali detail spesifikasi produk yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut, dilanjutkan dengan penyusunan kesepakatan pokok (key terms) dan usulan penggunaan joint surveyor. Langkah ini penting untuk mendapatkan konfirmasi dan persetujuan dari pihak swasta.
“Apabila BU Swasta setuju, maka akan dilaksanakan proses pengadaan komoditi tersebut. Selanjutnya pemenang pengadaan akan disampaikan kepada BU Swasta dalam lingkup penyedia kargo, best price dan volume kargo,” jelas Roberth, memaparkan alur proses pengadaan yang transparan.
Tahapan selanjutnya akan berfokus pada pembahasan aspek komersial yang bersifat business to business (B2B) antar perusahaan. Proses ini akan disusul dengan pelaksanaan joint inspection atau inspeksi bersama sebelum kargo BBM diberangkatkan.
Menurut Roberth, berdasarkan jadwal yang disepakati, pengiriman kargo BBM perdana ini direncanakan akan berlangsung pada minggu ketiga Oktober.
Menariknya, Roberth menekankan bahwa seluruh proses ini diselenggarakan berdasarkan kesepakatan bersama antara ketiga BU swasta tersebut (VIVO, APR, dan AKR). Alasannya, pengiriman kargo ini akan dilakukan dalam satu pengadaan yang terpadu dan tidak dilakukan secara terpisah-pisah.
“Dengan semangat kolaborasi berdasarkan niat baik untuk memberikan pelayanan pada masyarakat ini untuk di sikapi dengan bijak dan positif, sesuai arahan dari Pemerintah,” tutup Roberth, menggarisbawahi semangat sinergi dan pelayanan publik yang melandasi kesepakatan ini.
Dorongan kuat agar BU swasta membeli base fuel dari Pertamina muncul ke permukaan setelah terjadinya isu kelangkaan pasokan BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik swasta sejak akhir Agustus 2025. Ironisnya, di saat yang sama, Pertamina masih memiliki sisa kuota impor BBM yang belum dimanfaatkan.
Sebagai informasi, pihak SPBU swasta pada tahun berjalan ini sebetulnya telah mendapatkan penambahan kuota impor BBM sebesar 10% dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya. Hal ini menjadikan total kuota impor yang dimiliki BU swasta mencapai 110%.
Namun demikian, hingga saat berita ini diturunkan, SPBU swasta masih belum mencapai kata sepakat untuk membeli base fuel yang telah disiapkan oleh Pertamina sebanyak 100.000 barel. Salah satu isu utama yang menjadi alasan penolakan adalah kandungan etanol dalam base fuel tersebut yang mencapai angka 3,5%.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa regulasi yang berlaku masih memperbolehkan penggunaan etanol dalam campuran BBM hingga batas maksimal 20%.
Perbedaan pandangan mengenai komposisi ini menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memuluskan proses pengiriman kargo pada akhir Oktober 2025.