Bank Dunia

Bank Dunia Prediksi Ekonomi China dan RI Tumbuh 4,8%

Bank Dunia Prediksi Ekonomi China dan RI Tumbuh 4,8%
Bank Dunia Prediksi Ekonomi China dan RI Tumbuh 4,8%

JAKARTA - Optimisme Bank Dunia terhadap prospek ekonomi Asia Timur dan Pasifik kembali mencuri perhatian. 

Dalam laporan terbarunya, lembaga keuangan internasional itu menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China untuk tahun 2025 menjadi 4,8%, lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya.

 Indonesia dan negara lain di kawasan pun disebut akan merasakan dorongan pertumbuhan yang relatif solid pada tahun depan.

Namun, Bank Dunia juga memberikan catatan penting: optimisme tersebut tidak berarti tanpa risiko. Pertumbuhan pada 2026 diperkirakan akan kehilangan momentum akibat kombinasi faktor eksternal dan domestik, mulai dari pelemahan ekspor hingga ketidakpastian kebijakan.

Optimisme Jangka Pendek

Melansir Reuters, laporan ekonomi dua tahunan Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik yang dirilis Selasa 7 Oktober 2025 menyebutkan bahwa ekonomi China berpotensi tumbuh 4,8% pada 2025. 

Angka ini lebih tinggi 0,8 poin persentase dari proyeksi pada April lalu yang hanya memperkirakan pertumbuhan 4,0%.

Bagi kawasan Asia Timur dan Pasifik di luar China, pertumbuhan juga diperkirakan lebih baik. Bank Dunia menaikkan proyeksi untuk tahun 2025 menjadi 4,4%, atau naik 0,2 poin persentase dibandingkan laporan sebelumnya. Sementara untuk 2026, perkiraan tetap berada di 4,5%.

Kondisi ini, menurut Bank Dunia, menunjukkan adanya pemulihan permintaan domestik, aliran investasi yang stabil, serta dukungan dari stimulus fiskal di beberapa negara.

Risiko Perlambatan di 2026

Meski optimistis untuk 2025, Bank Dunia memperingatkan adanya potensi perlambatan di tahun berikutnya. Untuk China, proyeksi pertumbuhan pada 2026 dipangkas menjadi 4,2%, turun dari 4,8% pada tahun sebelumnya.

“Pertumbuhan di China, ekonomi terbesar di kawasan ini, diperkirakan akan menurun ... karena perlambatan pertumbuhan ekspor, kemungkinan pengurangan stimulus fiskal seiring meningkatnya utang publik, serta perlambatan struktural yang berkelanjutan,” tulis Bank Dunia dalam laporannya.

Lemahnya kepercayaan konsumen dan investor, ditambah dengan turunnya pesanan ekspor baru, berpotensi menghambat laju pemulihan ekonomi.

Faktor Global Menjadi Beban

Selain faktor domestik, perubahan kebijakan ekonomi Amerika Serikat turut memberi tekanan. Kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump yang kerap tidak terduga membuat negara-negara Asia berbasis ekspor lebih rentan terhadap guncangan.

Bank Dunia menyoroti bahwa Asia, yang selama ini menjadi motor pertumbuhan global, kini menghadapi ketidakpastian tinggi akibat perubahan arah kebijakan ekonomi di Washington.

Di sisi lain, data September 2025 menunjukkan output pabrik dan penjualan ritel China tumbuh paling lemah dalam hampir satu tahun. Angka tersebut menandakan bahwa pemulihan ekonomi China masih rapuh, meski pemerintah telah menggelontorkan sejumlah stimulus.

Tantangan bagi Indonesia

Indonesia disebut sebagai salah satu negara yang akan merasakan dampak langsung dari dinamika global ini. 

Meski Bank Dunia tetap memperkirakan pertumbuhan RI akan sejajar dengan China pada 2025, faktor politik domestik, ketidakpastian regulasi, serta tekanan eksternal dapat memengaruhi stabilitas.

Bank Dunia mencatat bahwa investor dan pelaku usaha di Indonesia dan Thailand kini mengambil sikap wait and see, menunda atau bahkan mengurangi belanja modal mereka. Situasi ini bisa menekan laju investasi yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan.

Prospek Stimulus dan Reformasi

Sejumlah analis menilai Beijing kemungkinan akan menyiapkan stimulus tambahan untuk mencegah perlambatan tajam. Langkah ini sekaligus menjaga agar target pertumbuhan tahunan pemerintah tetap berada di kisaran “sekitar 5%”.

Namun, Bank Dunia mengingatkan bahwa terlalu bergantung pada stimulus fiskal tidak selalu memberikan dampak jangka panjang yang berkelanjutan. Lembaga tersebut mendorong negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia dan China, untuk fokus pada reformasi struktural domestik.

“Mendukung pertumbuhan jangka pendek melalui stimulus fiskal mungkin memberikan manfaat yang kurang berkelanjutan dibandingkan dengan reformasi domestik yang lebih mendalam,” tegas Bank Dunia.

Reformasi yang dimaksud antara lain peningkatan kualitas sumber daya manusia, diversifikasi sektor industri, dan penguatan regulasi agar lebih pro-investasi.

Geopolitik dan Perdagangan Masih Jadi Kunci

Selain faktor kebijakan fiskal dan domestik, ketegangan geopolitik juga disebut sebagai salah satu risiko terbesar bagi kawasan. Konflik yang masih berlangsung, sanksi ekonomi, dan fragmentasi perdagangan global membuat proyeksi pertumbuhan bisa berubah sewaktu-waktu.

China, sebagai pusat manufaktur dunia, menjadi pihak yang paling rentan. Jika ekspor melemah akibat hambatan perdagangan, efek domino bisa langsung dirasakan negara-negara mitra, termasuk Indonesia.

Momentum Positif Harus Dijaga

Dengan berbagai tantangan tersebut, optimisme Bank Dunia terhadap pertumbuhan 2025 bisa menjadi kesempatan sekaligus peringatan. 

Pertumbuhan sebesar 4,8% bagi China dan Indonesia menunjukkan daya tahan ekonomi kawasan. Namun, mempertahankan momentum ini hingga 2026 akan menuntut strategi yang lebih hati-hati.

Di tengah volatilitas global, pemerintah negara-negara Asia Timur dan Pasifik dituntut untuk menyeimbangkan antara kebijakan jangka pendek berupa stimulus fiskal dan kebijakan jangka panjang berupa reformasi struktural.

Kesimpulan

Proyeksi Bank Dunia yang optimistis untuk 2025 memang memberi harapan bagi China, Indonesia, dan negara-negara lain di Asia Timur dan Pasifik. Namun, prediksi perlambatan pada 2026 menegaskan bahwa tantangan besar masih menanti.

Dari ketidakpastian kebijakan ekonomi global, lemahnya ekspor, hingga tekanan politik domestik, semua faktor ini bisa memengaruhi arah pertumbuhan ke depan. Jika reformasi struktural tidak segera dipercepat, maka momentum positif yang diproyeksikan untuk tahun depan bisa berbalik melemah.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index