JAKARTA - Ketersediaan sarjana gizi yang terbatas menjadi tantangan utama dalam program makan bergizi gratis (MBG).
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Indrayana, menegaskan pemerintah membuka opsi bagi lulusan dari jurusan lain agar program ini dapat menjangkau lebih banyak penerima manfaat. Dengan langkah ini, target 80 juta penerima MBG pada April 2026 diyakini dapat tercapai.
Dadan menyebutkan, selain sarjana gizi, kini diperbolehkan melibatkan sarjana kesehatan masyarakat, sarjana teknologi pangan, sarjana pengolahan makanan, dan sarjana keamanan pangan.
Opsi ini diambil untuk memastikan distribusi tenaga ahli merata di seluruh Indonesia dan menghindari persaingan ketat antar-SPPG yang berpotensi memperlambat implementasi program.
Menurutnya, kebutuhan tenaga ahli dihitung berdasarkan jumlah Sekolah Pengelola Pangan Gizi (SPPG) yang telah beroperasi. Setiap SPPG membutuhkan satu tenaga ahli untuk mendukung pelaksanaan MBG.
Dengan 16.630 SPPG yang saat ini ada, pemerintah memerlukan jumlah ahli yang setara untuk menjamin program berjalan efektif.
Tantangan Persaingan Tenaga Ahli
Persaingan antar-SPPG untuk mendapatkan sarjana gizi menjadi salah satu faktor utama kebijakan perluasan jurusan. Dadan menjelaskan bahwa rebutan tenaga ahli telah terjadi di lapangan, terutama di daerah dengan permintaan tinggi.
Dengan membuka opsi dari jurusan lain, pemerintah berharap persaingan ini dapat diminimalkan dan program MBG tetap berjalan sesuai target.
Kebijakan ini juga mencerminkan fleksibilitas pemerintah dalam menyikapi keterbatasan sumber daya manusia. Meski bukan lulusan gizi, lulusan jurusan terkait tetap memiliki kompetensi untuk mendukung program, baik dalam pengolahan makanan, pemantauan gizi, maupun keamanan pangan.
Langkah ini diharapkan mempercepat implementasi MBG tanpa menurunkan kualitas layanan bagi masyarakat.
Selain itu, Dadan menegaskan perlunya strategi khusus untuk merekrut tenaga ahli di daerah-daerah yang lebih terpencil. Dengan pendekatan ini, pemerataan layanan MBG ke seluruh Indonesia menjadi lebih mungkin, termasuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Perluasan SPPG dan Pembangunan Infrastruktur
Pemerintah juga mempercepat pembangunan SPPG di seluruh daerah, termasuk wilayah terpencil. Total sebaran SPPG mencakup hampir semua provinsi di Indonesia, dengan jumlah titik yang signifikan di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua.
Hal ini memastikan akses program MBG semakin luas, menjangkau masyarakat di daerah yang sebelumnya sulit terlayani.
Dadan menyebutkan, dari total 8.246 lokasi SPPG, sebagian besar sudah terverifikasi dan memiliki calon investor, sedangkan beberapa titik masih menunggu proses verifikasi. Targetnya, sebagian besar SPPG di daerah terpencil rampung pada akhir tahun ini, sementara sisanya akan selesai pada awal tahun depan.
Langkah percepatan pembangunan SPPG ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk memastikan distribusi makanan bergizi merata, meningkatkan kualitas gizi masyarakat, dan mendukung pertumbuhan kesehatan generasi mendatang.
Upaya Memastikan Program MBG Tepat Sasaran
BGN menegaskan program MBG bukan hanya soal distribusi makanan, tetapi juga tentang memastikan kualitas gizi yang diberikan sesuai standar. Keterlibatan tenaga ahli dari berbagai jurusan diyakini mampu memberikan dukungan yang lebih luas, mulai dari pemantauan kualitas bahan makanan hingga edukasi gizi bagi masyarakat.
Dengan langkah ini, pemerintah berharap MBG dapat menjadi program nasional yang tidak hanya menurunkan angka kekurangan gizi, tetapi juga membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola makan sehat.
Selain itu, kehadiran SPPG di hampir seluruh wilayah Indonesia memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan program.
Dadan menekankan bahwa keberhasilan MBG sangat bergantung pada ketersediaan tenaga ahli yang kompeten dan pemerataan SPPG. Dengan fleksibilitas dalam rekruitmen dan percepatan pembangunan, program ini diharapkan berjalan lancar dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat Indonesia.