Risiko Gelembung AI Mulai Mengancam Industri Teknologi Globa

Senin, 01 Desember 2025 | 15:27:22 WIB
Risiko Gelembung AI Mulai Mengancam Industri Teknologi Globa

JAKARTA - Di tengah derasnya arus inovasi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), dinamika industri teknologi global kembali disorot setelah muncul kekhawatiran mengenai potensi terbentuknya "AI bubble".

Di tengah derasnya arus inovasi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), dinamika industri teknologi global kembali disorot setelah muncul kekhawatiran mengenai potensi terbentuknya "AI bubble". 

Istilah ini menggambarkan sebuah situasi ketika pertumbuhan adopsi AI berlangsung begitu cepat, sementara nilai investasi mengalir tanpa batas, meski belum tentu sejalan dengan profit atau perkembangan nyata yang diraih perusahaan. 

Kekhawatiran itu kembali mengemuka seiring langkah sejumlah investor besar yang mulai melepas saham dari perusahaan-perusahaan kunci di sektor AI. 

Dalam konteks tersebut, Google turut berada di tengah pusaran, dan pernyataan CEO-nya, Sundar Pichai, menegaskan bahwa tidak ada perusahaan yang benar-benar aman jika gelembung itu pecah.

Gelombang Investasi AI dan Potensi Terbentuknya Gelembung Baru

Pertumbuhan pesat adopsi AI dalam dua tahun terakhir telah menciptakan euforia besar di pasar global. Perusahaan teknologi berlomba menanamkan investasi besar demi memperkuat infrastruktur, mengembangkan model, atau mengintegrasikan AI secara lebih agresif ke layanan utama mereka. 

Namun, di balik antusiasme itu, sejumlah analis menyebut fenomena ini mulai memasuki fase yang terlalu panas dan bisa menciptakan kondisi gelembung ekonomi.

AI bubble sering digambarkan sebagai masa ketika minat investor sangat tinggi sehingga dana terus masuk tanpa mempertimbangkan keberlanjutan jangka panjang. 

Nilai perusahaan yang bergerak di ranah kecerdasan buatan melonjak cepat, termasuk perusahaan pembuat chip seperti Nvidia. Namun, ketika ekspektasi dan kenyataan tidak berjalan seimbang, risiko gelembung itu pecah makin besar.

Kekhawatiran pasar meningkat setelah dua investor besar—Peter Thiel dan SoftBank—secara bersamaan melepas seluruh saham Nvidia.

 Langkah ini memicu respons luas karena Nvidia selama dua tahun terakhir dianggap sebagai simbol utama booming AI global. 

Penjualan besar-besaran itu memunculkan pertanyaan mendasar mengenai apakah pertumbuhan AI sejauh ini memang realistis atau justru gejolak yang dapat runtuh sewaktu-waktu.

Pandangan Google tentang Risiko dan Ketidakpastian Pasar AI

Sebagai salah satu pemain utama dalam industri AI, Google berada di pusat perhatian dalam diskusi mengenai keberlanjutan tren ini. 

Dalam wawancara dengan BBC, CEO Google Sundar Pichai menyampaikan pandangan jujurnya bahwa seluruh perusahaan tanpa terkecuali berpotensi terdampak jika gelembung investasi AI benar-benar pecah. 

Tidak ada yang bisa merasa aman, termasuk Google yang selama beberapa tahun terakhir mempercepat pembangunan sistem cerdas, model bahasa besar, dan teknologi pendukung lainnya.

“Tidak ada perusahaan yang akan sepenuhnya aman, termasuk kami. Jika terjadi investasi berlebihan, kita tetap harus melewati fase itu dan mengatasinya," ujar Pichai.

Pichai menyebut fenomena ini sebagai “momen yang luar biasa”, di mana investor di seluruh dunia berlomba menanam modal besar untuk memperluas penggunaan AI di berbagai sektor. 

Namun, ia juga menyoroti munculnya tanda-tanda ketidakwajaran yang mengingatkan pada gelembung dot-com akhir 1990-an.

Kekhawatiran serupa turut digaungkan oleh pembuat kebijakan di Inggris. Mereka menilai meningkatnya valuasi perusahaan-perusahaan AI mulai memberikan tekanan pada pasar yang lebih luas. 

Di Amerika Serikat, dinamika serupa juga terlihat dari pasar modal yang mulai menunjukkan gejala volatilitas terkait saham-saham teknologi.

Komitmen Investasi Google dan Upaya Memperkuat Pusat AI Global

Meski risiko AI bubble terus dibicarakan, induk perusahaan Google, Alphabet, menunjukkan sikap yang tetap optimis. Pada September 2025, Alphabet mengumumkan komitmen investasi sebesar 5 miliar poundsterling—sekitar Rp 110 triliun—untuk memperkuat infrastruktur dan penelitian AI di Inggris. 

Dana tersebut mencakup pembangunan pusat data baru, pengembangan jaringan komputasi, serta pendanaan untuk laboratorium AI Google, DeepMind, yang berbasis di London.

Sebagai bagian dari strategi jangka panjang perusahaan, Google juga mengungkapkan rencana melatih model AI di Inggris. Langkah ini sejalan dengan visi Perdana Menteri Keir Starmer yang ingin menjadikan Inggris sebagai “negara adidaya AI” ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China.

Sepanjang tahun 2025, saham Alphabet tercatat meningkat sekitar 46 persen, mencerminkan kepercayaan investor bahwa Google mampu bersaing secara ketat dengan OpenAI. 

Optimisme itu turut dipicu oleh kegiatan riset berkelanjutan serta sejumlah peluncuran teknologi AI baru yang dinilai memberi posisi kuat bagi Google dalam persaingan global.

Kekhawatiran Pasar dan Keyakinan Google Menghadapi Gejolak

Meski pertumbuhan industri AI terlihat menjanjikan, Pichai tidak menutup mata terhadap tanda-tanda bahwa pasar mulai menunjukkan perilaku irasional. 

Ia menilai euforia yang berlangsung saat ini sangat mirip dengan masa dot-com bubble yang berakhir dengan kejatuhan banyak perusahaan teknologi. 

Namun, berbeda dengan masa lalu, ia menyebut Google memiliki modal kuat untuk menghadapi gejolak pasar yang mungkin datang.

Ketika ditanya bagaimana Google akan bersiap menghadapi kemungkinan pecahnya gelembung AI, Pichai menyampaikan keyakinannya bahwa perusahaan memiliki fondasi cukup kuat untuk menghadapi tantangan. 

Dengan diversifikasi bisnis, infrastruktur luas, serta pengalaman panjang dalam teknologi komputasi skala besar, Google dianggap cukup siap menghadapi dinamika yang mungkin terjadi.

Pada akhirnya, diskusi mengenai AI bubble bukan hanya menyangkut nilai saham atau investasi semata, tetapi juga keberlanjutan inovasi dan masa depan industri yang tengah mengalami revolusi. 

Google dan perusahaan besar lainnya kini berada dalam posisi penting untuk menyeimbangkan ambisi teknologi dengan realitas pasar, sembari mempersiapkan diri untuk skenario apa pun yang mungkin terjadi.

Terkini

Perbedaan MyBCA dan BCA Mobile, Kamu Cocok yang Mana?

Selasa, 02 Desember 2025 | 08:52:00 WIB

BNI Life Insurance adalah: Produk, Premi, dan Cara Klaim

Selasa, 02 Desember 2025 | 08:51:55 WIB

5 Perbedaan Tablet dan iPad, Mana yang Lebih Baik?

Selasa, 02 Desember 2025 | 08:51:53 WIB

Harga Samsung A25 5G dan Spesifikasi di Indonesia

Selasa, 02 Desember 2025 | 08:51:43 WIB