Dampak Cuaca Ekstrem Perparah Bahaya Mikroplastik Lingkungan

Senin, 01 Desember 2025 | 15:05:05 WIB
Dampak Cuaca Ekstrem Perparah Bahaya Mikroplastik Lingkungan

JAKARTA - Perubahan iklim kini tidak hanya menjadi ancaman bagi stabilitas ekosistem, tetapi juga memengaruhi cara polusi plastik bekerja dan bergerak di lingkungan. Mikroplastik fragmen kecil yang selama ini tersembunyi dalam air, tanah, hingga udara ternyata semakin berbahaya ketika berinteraksi dengan cuaca ekstrem dan pemanasan global. 

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kombinasi dua krisis ini mempercepat degradasi plastik, memperluas distribusinya, dan meningkatkan risiko toksisitas bagi makhluk hidup. 

Wawasan tersebut diungkap dalam studi berjudul “Plastic pollution under the influence of climate change: implications for the abundance, distribution, and hazards in terrestrial and aquatic ecosystems” yang dipublikasikan dalam jurnal Frontiers.

Para ilmuwan meninjau ratusan penelitian dan menemukan bukti kuat bahwa perubahan iklim memperburuk kondisi polusi plastik di berbagai lapisan lingkungan. Dengan kata lain, krisis plastik dan perubahan iklim bukanlah dua isu terpisah, melainkan problem ganda yang saling memperkuat satu sama lain. “Polusi plastik dan perubahan iklim adalah krisis ganda yang saling memperparah satu sama lain,” ujar Frank Kelly.

Perubahan Suhu dan Cuaca Ekstrem Percepat Pergerakan Mikroplastik

Perubahan suhu global, kelembaban udara, dan intensitas sinar Matahari menjadi pemicu utama percepatan degradasi plastik. Dalam kondisi panas ekstrem, plastik lebih cepat rapuh, retak, dan terpecah menjadi partikel mikroplastik dalam skala besar. Studi ini mencatat bahwa kenaikan suhu 10 derajat Celsius saat gelombang panas ekstrem dapat menggandakan laju degradasi plastik, sehingga jumlah fragmen yang dilepas semakin besar.

Selain panas ekstrem, badai dan banjir juga berperan memperluas distribusi mikroplastik. Dalam kasus badai tropis di Hong Kong, konsentrasi mikroplastik dalam sedimen pantai meningkat hampir 40 kali lipat, menunjukkan bahwa fenomena cuaca ekstrem mampu mengangkut dan mendistribusikan plastik hingga ke area yang sebelumnya relatif bersih.

Banjir juga menciptakan fenomena baru berupa plastic rocks—material yang terbentuk ketika plastik dan batuan menyatu secara kimia. Batu ini menjadi titik panas bagi pembentukan mikroplastik lanjutan, yang kemudian bisa terbawa kembali oleh arus air atau gelombang laut.

Ancaman Baru dari Kebakaran dan Es Laut yang Mencair

Cuaca panas ekstrem dan kekeringan yang memicu kebakaran hutan juga berkontribusi terhadap peningkatan paparan mikroplastik. Ketika rumah, bangunan, dan kendaraan terbakar, berbagai jenis plastik ikut meleleh dan melepaskan partikel mikroplastik maupun bahan kimia beracun ke atmosfer. Partikel ringan ini kemudian menyebar melalui angin dan dapat terhirup oleh manusia serta hewan.

Sementara itu, es laut yang selama ini berfungsi sebagai “penyimpanan” mikroplastik menjadi sumber polusi baru seiring meningkatnya suhu global. Es yang mencair melepaskan konsentrasi mikroplastik ke perairan, memperluas kontaminasi di wilayah kutub yang sebelumnya relatif terlindungi.

Studi tersebut juga menunjukkan bahwa perubahan iklim meningkatkan kemampuan plastik untuk bertindak sebagai pembawa zat berbahaya. Mikroplastik bekerja layaknya “kuda troya”, membawa bahan seperti pestisida maupun forever chemicals yang tidak mudah terurai. 

Suhu yang lebih tinggi membuat plastik lebih cepat menyerap dan melepaskan kontaminan tersebut, sehingga risiko paparan makhluk hidup semakin besar.

Dampak pada Ekosistem dan Seruan Mendesak untuk Solusi Global

Dampak gabungan perubahan iklim dan mikroplastik sangat jelas terlihat pada hewan, terutama organisme laut. Terumbu karang, tiram, ikan, siput laut, hingga landak laut terbukti menjadi lebih rentan ketika terpapar mikroplastik bersamaan dengan peningkatan suhu dan pengasaman laut. Hewan pemakan filter seperti kerang bahkan menumpuk mikroplastik dalam tubuh, dan kemudian meneruskannya kepada predator di tingkat trofik yang lebih tinggi. 

“Predator puncak seperti orca dapat menjadi peringatan dini, karena mereka mungkin sangat rentan,” kata Guy Woodward, profesor ekologi di Imperial College London.

Selain itu, konsumsi mikroplastik oleh organisme dasar laut memungkinkan polusi naik ke rantai makanan, termasuk yang pada akhirnya dikonsumsi manusia. Kondisi ini menambah urgensi untuk menekan produksi plastik global.

Para peneliti mendorong upaya nyata seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, meningkatkan daur ulang, serta merancang ulang produk agar lebih ramah lingkungan. 

Upaya internasional berupa perjanjian plastik global yang mengikat secara hukum dianggap sebagai solusi paling realistis untuk menekan laju pencemaran. Namun, negosiasi masih terhambat perbedaan pandangan antarnegara, terutama mengenai pembatasan produksi plastik dari hulu.

Stephanie Wright dari Imperial College London mengingatkan bahwa konsekuensinya akan semakin memburuk jika dunia tidak segera bertindak. Produksi plastik global telah meningkat 200 kali lipat sejak 1950 hingga 2023, dan diprediksi terus naik seiring perubahan industri energi. 

“Kita harus bertindak sekarang, karena plastik yang dibuang hari ini mengancam gangguan berskala global pada ekosistem di masa depan,” ujarnya.

Tamara Galloway dari Universitas Exeter menambahkan bahwa penelitian yang menggabungkan dua krisis besar—perubahan iklim dan polusi plastik—sangat penting. Ia menegaskan bahwa di balik keduanya terdapat pola konsumsi berlebihan yang harus dikurangi demi mencegah kerusakan lebih jauh.

Terkini