Harga Tiket Louvre Naik Bikin Turis Dunia Resah

Senin, 01 Desember 2025 | 15:03:28 WIB
Harga Tiket Louvre Naik Bikin Turis Dunia Resah

JAKARTA - Kenaikan harga tiket Museum Louvre kembali memunculkan perdebatan tentang akses wisata budaya bagi pengunjung mancanegara, sekaligus sorotan terhadap strategi pengelolaan museum besar di era pariwisata modern. Louvre, sebagai museum paling banyak dikunjungi di dunia, kini mengambil langkah berani dengan menaikkan harga tiket masuk bagi wisatawan non-Uni Eropa hingga 45 persen. 

Kenaikan ini tidak hanya berdampak pada turis Amerika Serikat, Inggris, dan China, tetapi juga seluruh negara di luar kawasan UE. Kebijakan tersebut memicu reaksi beragam, mulai dari kekhawatiran soal aksesibilitas hingga dukungan untuk perbaikan infrastruktur museum.

Harga tiket baru itu kini mencapai US$37 atau sekitar Rp577 ribu bagi wisatawan non-Eropa. Meski kenaikan ini dinilai sangat signifikan, pihak museum menyebut kebijakan tersebut diperlukan untuk meningkatkan pendapatan tahunan museum hingga US$23 juta atau sekitar Rp382 miliar. 

Langkah tersebut diumumkan setelah serangkaian evaluasi struktural yang menunjukkan banyak aspek museum membutuhkan perbaikan segera. 

Louvre berupaya meyakinkan publik bahwa kebijakan ini bukan hanya untuk menutup biaya operasional, tetapi menjadi kebutuhan mendesak setelah insiden pencurian besar-besaran beberapa waktu lalu.

Mulai 14 Januari 2026, wisatawan dari luar Uni Eropa, Islandia, Liechtenstein, dan Norwegia akan dikenakan tarif 32 euro, naik 10 euro dari harga sebelumnya. 

Keputusan ini diambil setelah melalui rapat bersama dewan museum dan serikat staf. Walaupun dinegosiasikan secara internal, langkah ini menimbulkan perdebatan publik, terutama terkait keadilan bagi wisatawan non-Eropa yang selama ini menjadi mayoritas pengunjung Louvre.

Alasan Louvre Menaikkan Harga Secara Signifikan

Keputusan Louvre menaikkan harga tiket ini tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama museum dalam meningkatkan kualitas fasilitas dan menjamin keamanan koleksi. Berdasarkan laporan tahun 2024, Louvre dikunjungi oleh 8,7 juta orang, di mana 69 persen di antaranya adalah wisatawan asing. Turis Amerika Serikat tercatat sebagai pengunjung terbanyak, disusul wisatawan dari berbagai negara, termasuk China di posisi ketiga.

Dengan tingginya jumlah turis tersebut, Louvre memerlukan pendanaan besar untuk menjaga standar pengalaman wisata serta melindungi artefak bersejarah yang bernilai tinggi. 

Pihak museum juga berharap kenaikan harga dapat menghasilkan hingga 20 juta euro per tahun guna mengatasi masalah struktural yang sudah lama tertunda. 

Perbaikan infrastruktur dan sistem keamanan menjadi kebutuhan prioritas, terutama setelah insiden pencurian spektakuler pada Oktober 2025 yang sempat mengguncang dunia seni internasional.

Pada 19 Oktober, sekelompok geng beranggotakan empat orang menyerbu Louvre dan berhasil mencuri perhiasan senilai sekitar US$102 juta atau Rp1,59 triliun hanya dalam waktu tujuh menit. 

Mereka melarikan diri menggunakan skuter, sebuah kejadian yang menyoroti kelemahan serius dalam sistem keamanan museum. 

Penyelidikan resmi kemudian mengungkap bahwa peralatan keamanan Louvre sangat kurang dan membutuhkan pembaruan besar-besaran. Insiden ini menjadi salah satu alasan kuat di balik kebijakan kenaikan harga tiket.

Kontroversi Diskriminasi dan Sikap Serikat Pekerja

Meskipun museum memberikan penjelasan bahwa kenaikan harga tiket dilakukan demi mendanai perbaikan struktural, serikat pekerja Louvre justru menilai kebijakan tersebut dapat menimbulkan kesan diskriminatif. 

Salah satu serikat terbesar, CFDT, memperingatkan bahwa langkah penghapusan biaya masuk universal bagi semua kewarganegaraan dapat memicu persepsi ketidakadilan.

Kritik tersebut muncul karena kenaikan harga hanya dilakukan untuk turis non-Eropa, sementara pengunjung dari Uni Eropa tetap dikenai tarif lama. Serikat pekerja menilai kebijakan ini tidak sepenuhnya mencerminkan semangat museum sebagai institusi budaya yang seharusnya terbuka untuk semua lapisan masyarakat global.

 Mereka khawatir bahwa pembeda tarif berdasarkan wilayah dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi yang dapat merusak citra Louvre di mata dunia internasional.

Di sisi lain, sebagian pihak memahami langkah ini sebagai upaya realistis untuk menjaga kelangsungan museum. Dengan tingginya biaya perawatan koleksi seni dan kebutuhan akan teknologi keamanan modern, pendapatan tambahan dari tiket menjadi salah satu sumber finansial yang paling logis. 

Namun demikian, perdebatan tetap berlangsung mengenai apakah museum sekelas Louvre seharusnya mengandalkan kenaikan tarif untuk menjaga kelangsungannya atau mencari alternatif pendanaan yang lebih inklusif.

Dampak Terhadap Pengalaman Wisata dan Akses Budaya

Louvre merupakan simbol seni dan budaya dunia yang telah lama menjadi tujuan wisata wajib bagi turis internasional. Dengan kenaikan harga ini, sebagian wisatawan dari luar Eropa mungkin akan mempertimbangkan ulang rencana kunjungan mereka. 

Namun bagi sebagian lainnya, Louvre tetap menjadi destinasi yang "wajib dikunjungi setidaknya sekali seumur hidup," sehingga harga tiket yang naik tidak akan terlalu mempengaruhi keputusan mereka.

Bagi industri pariwisata Paris, kebijakan ini bisa memiliki dampak ganda. Di satu sisi, pendapatan museum meningkat sehingga mampu memperbaiki fasilitas dan memberikan pengalaman lebih aman dan nyaman bagi pengunjung. 

amun di sisi lain, kenaikan harga yang cukup tinggi dapat menurunkan minat turis beranggaran terbatas, terutama pelancong muda dan backpacker.

Sebagian analis menilai bahwa Louvre perlu menyeimbangkan kebutuhan perbaikan struktural dengan aksesibilitas bagi wisatawan global. Museum juga disarankan untuk mengembangkan opsi tiket terjangkau atau paket khusus bagi pelajar dan wisatawan dari negara berkembang agar akses budaya tetap merata. 

Namun hingga saat ini, Louvre belum mengumumkan kebijakan pendukung tambahan selain struktur harga baru tersebut.

Dalam konteks yang lebih luas, keputusan Louvre ini juga menyoroti tantangan museum besar di seluruh dunia yang harus menjaga koleksi berharga sekaligus mempertahankan akses publik. 

Ketika biaya operasional meningkat dan risiko keamanan bertambah, institusi budaya dihadapkan pada dilema antara menaikkan harga atau mencari sumber pendanaan inovatif.

Terkini