Banyak Gen Z dan Alpha Sering Curhat Mental ke AI

Jumat, 28 November 2025 | 14:47:09 WIB
Banyak Gen Z dan Alpha Sering Curhat Mental ke AI

JAKARTA - Di era digital saat ini, banyak anak muda merasa lebih nyaman berbicara dengan mesin daripada manusia. Tren menggunakan artificial intelligence (AI) seperti Chat GPT untuk menilai kondisi kesehatan mental semakin meningkat, terutama di kalangan Gen Z dan Gen Alpha.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar sejauh mana praktik “curhat ke AI” aman bagi kesehatan mental?

Psikiater Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), dr Kristiana Siste, mengingatkan bahwa AI tidak dirancang untuk menegakkan diagnosis klinis.

 Meski bisa memberi saran atau informasi awal, bergantung pada chatbot untuk menilai kondisi mental bisa berisiko menyesatkan.

AI sebagai Teman Bicara Anak Muda

Menurut dr Siste, banyak remaja dan dewasa muda menggunakan chatbot untuk berbagai tujuan, mulai dari mengetahui kepribadian hingga menilai apakah mereka mengalami depresi atau gangguan mental lain. 

"AI ini kan sering kali digunakan oleh Gen Z dan Gen Alpha untuk menanyakan 'Aku kepribadiannya apa? Introvert atau extrovert? Aku depresi nggak sih?'" ujarnya..

Fenomena ini tidak lepas dari minimnya komunikasi di dalam keluarga. Banyak anak muda merasa lebih nyaman bercerita kepada AI ketika sedang kesepian dibanding berbagi keluhan dengan orang tua atau orang terdekat. Chatbot, dengan respons cepat dan anonim, menawarkan ruang aman yang seolah tidak menilai.

Meski demikian, dr Siste menekankan bahwa AI hanyalah alat, bukan pengganti manusia. Keterbatasan algoritme membuat respons yang diberikan sering kali tidak sesuai konteks, berlebihan, atau bahkan keliru, sehingga tidak boleh dijadikan dasar untuk diagnosis medis.

Risiko Self-Diagnosis dari AI

Salah satu hal yang dikhawatirkan dr Siste adalah praktik pengguna yang memposting hasil “diagnosis” AI di media sosial, lalu melakukan self-treatment tanpa konsultasi tenaga profesional. Fenomena ini semakin marak di kalangan remaja dan dewasa muda yang ingin cepat mendapatkan solusi.

Menurut dr Siste, praktik self-diagnosis berpotensi memperburuk kondisi mental. Banyak gejala kesehatan mental terlihat serupa, namun memiliki penyebab berbeda yang memerlukan penanganan medis khusus. 

Mengandalkan chatbot untuk menilai dan mengobati diri sendiri bisa menunda penanganan yang tepat dan meningkatkan risiko masalah lebih serius.

Selain itu, ketergantungan berlebih pada AI juga bisa mengurangi interaksi sosial. Anak muda yang merasa lebih dipahami oleh AI cenderung menarik diri dari lingkungan sekitar, mempersempit jaringan dukungan sosial yang sangat penting untuk kesehatan mental.

AI sebagai Alat Bantu, Bukan Pengganti Profesional

dr Siste menegaskan bahwa AI dapat digunakan sebagai alat skrining awal, misalnya untuk mendeteksi kecanduan internet, game, atau judi online. Namun, hasil dari AI hanya bersifat indikatif dan tidak bisa menggantikan evaluasi oleh tenaga kesehatan profesional.

“AI bagus jika digunakan bersama-sama oleh keluarga. Orang tua harus mengerti dulu lalu mengajak anaknya berinteraksi bersama,” tegasnya. 

Pendampingan keluarga dianggap kunci agar penggunaan teknologi tetap aman dan tidak menggeser komunikasi di rumah. Dengan bimbingan orang tua, AI dapat menjadi media edukasi atau pemicu diskusi yang sehat tentang kesehatan mental, bukan tempat curhat tunggal tanpa pengawasan.

Strategi Aman Menggunakan AI untuk Kesehatan Mental

Agar penggunaan AI lebih aman, dr Siste menyarankan beberapa langkah. Pertama, AI harus diposisikan sebagai alat pendukung, bukan pengganti tenaga profesional. 

Kedua, orang tua perlu terlibat aktif, memahami cara kerja AI, dan membimbing anak-anak mereka dalam berinteraksi dengan teknologi.

Selain itu, penting bagi anak muda untuk tetap menjaga komunikasi dengan lingkungan sosial dan keluarga. Penggunaan AI sebaiknya dikombinasikan dengan rutinitas kesehatan mental yang sehat, termasuk berbicara dengan psikolog atau psikiater ketika muncul gejala yang mengkhawatirkan.

Dengan pendekatan yang tepat, AI bisa menjadi media edukasi atau refleksi diri yang bermanfaat, tanpa menimbulkan risiko self-diagnosis yang berbahaya. Teknologi bukan musuh, tetapi cara kita menggunakannya menentukan dampaknya pada kesehatan mental.

Secara keseluruhan, tren Gen Z dan Gen Alpha memanfaatkan AI sebagai tempat curhat mental memperlihatkan kebutuhan anak muda akan ruang berbagi yang aman.

 Namun, interaksi dengan manusia profesional tetap tidak tergantikan, dan pendampingan keluarga menjadi faktor penting untuk memastikan teknologi mendukung, bukan merugikan, kesejahteraan psikologis mereka.

Terkini