JAKARTA - Pergerakan harga minyak memasuki fase pelemahan yang kembali menarik perhatian pelaku pasar global, terutama ketika tekanan eksternal dari faktor geopolitik dan kebijakan moneter ikut memainkan peran besar.
Penurunan harga yang berlangsung selama beberapa sesi berturut-turut menunjukkan bahwa pasar energi sedang merespons sejumlah sentimen baru yang dinilai berpotensi mengubah keseimbangan pasokan dan permintaan minyak dunia.
Salah satu pemicu utama tekanan harga kali ini adalah dorongan dari Amerika Serikat untuk mempercepat tercapainya kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina.
Langkah diplomatik tersebut dilihat sebagai potensi penambahan pasokan minyak ke pasar global, sehingga pelaku pasar langsung memperhitungkan kemungkinan turunnya premi geopolitik yang selama ini menahan harga minyak tetap tinggi.
Penyesuaian ekspektasi investor juga dipengaruhi oleh ketidakpastian mengenai arah pemangkasan suku bunga AS, yang membuat selera risiko mereda.
Kondisi ini memperkuat pergerakan harga minyak yang cenderung defensif, terutama ketika pasar sedang mencari kepastian arah kebijakan moneter di tengah pemulihan ekonomi yang belum stabil sepenuhnya.
Tekanan pada Harga Brent dan WTI
Dalam situasi tersebut, harga minyak Brent mengalami penurunan sebesar US$0,71 atau 1,12% menjadi US$62,67 per barel pada sesi perdagangan pagi, setelah sebelumnya bergerak melemah 0,2%.
Arah pelemahan ini mencerminkan sensitivitas harga terhadap perkembangan geopolitik yang berpotensi menambah pasokan dari kawasan yang selama ini terhambat konflik.
Sementara itu, harga West Texas Intermediate (WTI) juga terkoreksi sebesar US$0,71 atau 1,20% menjadi US$58,29 per barel, setelah pada sesi sebelumnya ditutup 0,5% lebih rendah.
Kedua patokan harga minyak tersebut kini berada pada jalur penurunan mingguan lebih dari 2%, memperlihatkan bahwa kekhawatiran oversupply muncul kembali sebagai faktor pembentuk sentimen pasar.
Sentimen bearish makin menguat setelah muncul laporan bahwa Washington tengah mendorong rencana perdamaian guna mengakhiri perang yang telah berlangsung tiga tahun antara Rusia dan Ukraina.
Perkembangan ini dinilai dapat membuka peluang masuknya kembali pasokan minyak dari Rusia ke pasar global, meskipun sejumlah sanksi terhadap produsen minyak utama seperti Rosneft dan Lukoil mulai diberlakukan.
Dalam kebijakan terbaru, Lukoil diberikan waktu hingga 13 Desember untuk melepas portofolio internasionalnya, langkah yang turut diawasi pasar karena dapat memengaruhi alur distribusi minyak global.
Di tengah situasi tersebut, analis IG, Tony Sycamore, menilai bahwa peluang kecil tercapainya kesepakatan sudah cukup menekan harga karena berpotensi mengurangi sebagian premi geopolitik yang selama ini melekat pada harga crude.
“Dengan Ukraina belum secara resmi menolak proposal tersebut, peluang kecil tercapainya kesepakatan sudah cukup menekan harga karena dapat menghapus sebagian premi geopolitik yang melekat pada crude,” ujarnya.
Pengaruh Kekuatan Dolar terhadap Perdagangan Energi
Selain faktor geopolitik, kenaikan nilai dolar AS menjadi alasan tambahan mengapa harga minyak terus bergerak di bawah tekanan. Penguatan dolar menyebabkan harga minyak menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lain, sehingga permintaan global cenderung melambat pada periode tertentu.
Dalam pekan tersebut, dolar bahkan mencatatkan kinerja mingguan terbaiknya dalam lebih dari sebulan.
Penguatan ini mencerminkan meningkatnya keyakinan investor bahwa Federal Reserve tidak akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat. Ketika tingkat suku bunga diprediksi bertahan, aliran modal cenderung kembali ke dolar, sehingga memperlemah daya tarik komoditas seperti minyak.
Kondisi tersebut kemudian memengaruhi pola perdagangan, karena pelaku pasar energi umumnya akan menahan posisi ketika volatilitas mata uang meningkat.
Dalam konteks ini, kekuatan dolar menjadi faktor tambahan yang memperdalam tekanan terhadap harga minyak yang sudah lebih dulu terpukul oleh ekspektasi tambahan pasokan global.
Pergerakan mata uang ini juga menggambarkan bahwa pasar sedang menempatkan fokus pada kebijakan moneter yang lebih ketat, sehingga kebutuhan untuk mengamankan aset dalam dolar menjadi pilihan banyak investor. Dampaknya, permintaan terhadap komoditas energi pun terpengaruh secara langsung.
Prospek Pasar Energi dalam Waktu Dekat
Rangkaian perkembangan yang memengaruhi harga minyak tersebut memberi gambaran bahwa pasar energi berada dalam fase penyesuaian terhadap potensi perubahan signifikan dalam kondisi geopolitik dan kebijakan ekonomi global.
Jika upaya diplomatik AS menghasilkan kemajuan, pasar akan kembali menilai ulang keseimbangan pasokan minyak dunia dan menyesuaikan harga sesuai dinamika terbaru.
Di sisi lain, kebijakan suku bunga AS tetap menjadi faktor penentu dalam menentukan arah sentimen investor. Ketika pasar memandang bahwa pemangkasan suku bunga tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, konsolidasi harga minyak dapat terus berlanjut seiring meningkatnya kekuatan dolar.
Meski begitu, pelaku pasar tetap mencermati bahwa setiap perkembangan baru, baik dari arah geopolitik maupun kebijakan moneter, dapat menciptakan perubahan signifikan.
Dengan demikian, pergerakan harga minyak dalam waktu dekat diperkirakan akan bergantung pada bagaimana kedua faktor tersebut berkembang dan memengaruhi struktur pasar secara keseluruhan.