JAKARTA - Di tengah dominasi layanan transportasi online, ojek pangkalan atau opang masih eksis di pusat Jakarta.
Fenomena ini menunjukkan bahwa model transportasi berbasis kedekatan, fleksibilitas, dan kecepatan tetap dibutuhkan. Tanpa aplikasi atau algoritma, opang berhasil mempertahankan jaringan pelanggan lama.
Mereka melayani warga yang lebih nyaman dengan interaksi tatap muka. Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menilai keberadaan mereka wajar dan tetap relevan.
“Opang itu tetap eksis, meski wajah transportasi sekarang dikuasai online,” ujar Djoko. Menurutnya, ojek online sebenarnya lahir dari opang, hanya saja sistem aplikasi mengubah cara operasional secara drastis.
Alasan Warga Masih Memilih Opang
Beberapa penumpang aktif menggunakan layanan digital, tetapi tetap mengandalkan opang untuk rute tertentu. Bambang, pekerja kantoran, lebih memilih opang di Stasiun Gondangdia karena layanan cepat dan langsung tersedia saat turun KRL.
Selain efisiensi, alasan lain adalah solidaritas ekonomi. “Mereka sudah lama di sini, hidupnya dari sini. Bukan kasihan, tapi mereka memang memberi layanan yang cepat,” tutur Bambang.
Sementara Nurhayati, pedagang, mengaku tidak bisa menggunakan aplikasi dengan mudah. Baginya, opang lebih praktis dan aman, terutama saat membawa barang belanjaan berat.
Kedekatan sosial dan kepercayaan jangka panjang menjadi aspek yang tak tergantikan oleh sistem online.
Dinamika Opang dan Ojek Online
Meski kadang terdengar kabar gesekan, situasi di lapangan kini relatif tenang. Di Stasiun Gondangdia, opang tetap berada di pintu keluar stasiun, sedangkan ojol menunggu di area yang lebih sepi agar tidak melanggar aturan.
Interaksi keduanya kini lebih tertata. Opang fokus pada pelanggan tetap, sementara ojol melayani order jarak jauh atau digital. Teguh, opang berusia 42 tahun, mengakui adanya perebutan penumpang, namun jumlah konflik menurun dibanding era awal munculnya aplikasi.
Dominasi layanan online membuat opang mengambil posisi realistis. Mereka bertahan dengan pelanggan lama sambil menghindari bentrok dengan driver digital.
Kisah Para Opang dan Masa Depan Mereka
Fenomena opang bertahan sebagian besar karena faktor usia, ritme hidup, dan keterbatasan teknologi. Sebagian besar pengemudi berusia di atas 35 tahun. Mereka lebih nyaman dengan ritme kerja stabil di pangkalan.
Teguh dan Santo mengaku pendapatan di pangkalan lebih stabil dibanding mencoba sistem ojol. Bahkan Randi, mantan pengemudi ojol yang terkena PHK, memilih menjadi opang karena sistem aplikasi sulit dijalankan dengan HP terbatas.
Djoko Setijowarno menegaskan, meski jumlah opang mengecil di pusat kota, mereka tetap dibutuhkan. Opang mengisi celah layanan yang tidak dijangkau aplikasi. Mereka mengantar belanjaan berat, melayani rute pendek, dan memberi fleksibilitas tarif.
Opang juga menjadi simbol identitas dan ritme sosial yang tak tergantikan. Para pengemudi mengenal pelanggan, membangun relasi, dan menikmati fleksibilitas kerja yang tidak bisa diberikan oleh layanan digital.
“Di sini saya punya teman, punya langganan. Kalau pindah ke online rasanya bukan saya lagi,” ujar Santo. Di tengah perubahan cepat Jakarta, opang mungkin terlihat seperti sisa masa lalu. Namun bagi banyak orang, mereka tetap nyata, dekat, dan penting.
Mereka bukan hanya transportasi, tetapi bagian dari wajah kota yang tetap bertahan di era digital.