JAKARTA - Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi, Todotua Pasaribu, menegaskan bahwa program campuran bioetanol 10 persen dalam bahan bakar minyak (BBM) atau E10 menyasar pengguna kendaraan bermotor, khususnya mobil produksi Jepang.
Menurut Todotua, populasi mobil Jepang di Indonesia mencapai 60–70 persen, sehingga mereka menjadi target utama konsumen E10.
Alasan ini juga menjadi dasar pemilihan Toyota sebagai investor utama dalam pengembangan pabrik bioetanol. Toyota telah melakukan riset dan menyiapkan rencana komersial terkait penggunaan etanol dalam BBM.
“Sebenarnya bukan hanya Toyota, setelah saya ke Jepang, rupanya ini adalah cycle konsolidasi grup otomotif yang ada di Jepang. Tetapi memang pemimpinnya Toyota,” ujar Todotua.
Langkah ini menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri otomotif global untuk mempercepat adopsi bahan bakar ramah lingkungan.
Lokasi dan Pengembangan Pabrik Bioetanol
Todotua menyampaikan bahwa pabrik etanol akan dibangun di Lampung sebagai lokasi awal. Berdasarkan Roadmap Hilirisasi Investasi Strategis Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Lampung dipersiapkan menjadi sentra pengembangan industri bioetanol dengan dukungan bahan baku dari tebu, singkong, dan sorgum.
Investasi di sektor ini tidak hanya diharapkan memperkuat rantai pasok energi bersih, tetapi juga membuka lapangan kerja baru serta meningkatkan kesejahteraan petani lokal di wilayah tersebut.
Penempatan pabrik di Lampung menunjukkan strategi pemerintah untuk menggabungkan pembangunan industri dan pemberdayaan masyarakat lokal, sehingga ekonomi regional turut berkembang seiring dengan adopsi energi baru dan terbarukan.
Minat Investasi Toyota
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) menyatakan minat untuk berinvestasi dalam pengembangan industri bioetanol di Indonesia. Langkah ini menjadi bagian dari strategi global Toyota untuk memastikan pasokan bahan bakar bagi kendaraan fleksibel berbasis bioetanol.
Selain itu, investasi tersebut sejalan dengan kebijakan Pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor.
Todotua menambahkan bahwa program E10 akan didukung dengan pembangunan fasilitas produksi bioetanol dengan kapasitas sekitar 60.000 kiloliter per tahun dan nilai investasi mencapai Rp2,5 triliun.
Investasi ini tidak hanya memperkuat industri energi bersih nasional, tetapi juga menjadi langkah penting dalam mendorong teknologi ramah lingkungan dan mendorong pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia.
Dampak Ekonomi dan Lingkungan
Pengembangan bioetanol di Indonesia diharapkan memberikan dampak ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan. Di satu sisi, program ini membuka peluang investasi besar, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan petani lokal.
Di sisi lain, adopsi E10 mampu mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil impor, menurunkan emisi karbon, dan mendukung transisi energi bersih.
Kolaborasi pemerintah dengan sektor swasta, khususnya Toyota, menunjukkan komitmen bersama untuk mewujudkan energi terbarukan yang berkelanjutan. Selain itu, program ini mendorong pengembangan teknologi kendaraan ramah lingkungan, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok energi global.
Dengan strategi terencana, pembangunan pabrik bioetanol di Lampung diharapkan menjadi model keberhasilan pengembangan industri energi bersih yang dapat direplikasi di daerah lain di Indonesia.