JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menegaskan langkah-langkah pencegahan terhadap penyebaran konten radikalisme di ruang digital, khususnya yang menargetkan anak-anak.
Pedoman standar dan tata kelola telah ditetapkan untuk memastikan konten negatif dapat dikontrol secara efektif di berbagai platform daring.
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, menyampaikan bahwa pendekatan yang diterapkan berbasis risiko dan bukti, dengan intervensi yang proporsional.
“Pendekatan yang kita terapkan adalah berbasis risiko, berbasis bukti, dan tentunya memastikan bahwa intervensi yang kita lakukan itu proporsional,” jelasnya.
Kemkomdigi menggunakan mekanisme taksonomi risiko konten dan implementasi cepat sistem notice and take down. Langkah ini bertujuan menjamin transparansi serta perlindungan anak dari paparan konten berbahaya di dunia maya.
Dengan sistem ini, konten negatif dapat diidentifikasi dan ditindaklanjuti secara cepat, sehingga ruang digital menjadi lebih aman bagi anak-anak.
Penguatan Literasi Digital Masyarakat
Selain pengawasan, Kemkomdigi juga fokus pada penguatan literasi digital. Alexander menjelaskan, pendekatan berbasis komunitas digunakan untuk memberi pemahaman menyeluruh tentang risiko digital kepada masyarakat, termasuk orang tua dan guru.
Strategi ini diyakini efektif untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapan masyarakat menghadapi ancaman konten radikalisme.
Perlindungan anak dilakukan sesuai pedoman Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak.
Alexander menekankan, literasi digital bukan sekadar pendidikan formal, tetapi juga menyasar lingkungan sosial yang langsung berinteraksi dengan anak-anak, agar pemahaman dan mitigasi risiko lebih menyeluruh.
Pendekatan berbasis komunitas ini memfokuskan pada identifikasi potensi risiko, edukasi tentang konten berbahaya, dan penerapan strategi pencegahan yang proaktif. Hal ini bertujuan untuk membangun ekosistem digital yang aman dan sehat bagi generasi muda.
Penangkapan Perekrut Anak Oleh Densus 88
Dalam upaya nyata mencegah rekrutmen anak oleh kelompok terorisme, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri melaporkan penangkapan lima tersangka yang diduga melakukan perekrutan anak secara daring. Kelima tersangka merupakan orang dewasa yang memanfaatkan ruang digital sebagai sarana rekrutmen.
“Ada lima tersangka yang sudah diamankan oleh Densus 88 dengan tiga kali penegakan hukum dari akhir Desember 2024 hingga kemarin,” kata Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana.
Modus operandi para tersangka termasuk penggunaan media sosial, gim daring, aplikasi perpesanan instan, dan situs-situs tertutup. Penangkapan ini menjadi langkah konkret dalam melindungi anak-anak dari paparan radikalisme dan upaya perekrutan oleh kelompok terorisme.
Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa ruang digital, meski memberi akses informasi luas, juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ilegal yang membahayakan anak-anak.
Sinergi Regulator dan Penegak Hukum
Kolaborasi antara Kemkomdigi dan Densus 88 menunjukkan pentingnya sinergi antara regulator dan aparat penegak hukum dalam melindungi anak di dunia maya. Kemkomdigi menekankan peran regulasi dan pengawasan, sementara Densus 88 memberikan tindakan penegakan hukum yang nyata terhadap pelaku.
Selain itu, penguatan literasi digital dan penerapan pedoman standar menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk mencegah penyebaran konten radikalisme. Dengan sistem notice and take down, taksonomi risiko, dan intervensi berbasis bukti, ruang digital dapat dikelola dengan lebih aman.
Langkah-langkah ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem digital yang kondusif, di mana anak-anak dapat mengakses informasi, belajar, dan bermain dengan aman. Perlindungan yang terintegrasi antara edukasi, regulasi, dan penegakan hukum menjadi kunci agar potensi risiko radikalisme dapat diminimalisir.
Upaya Kemkomdigi untuk mencegah konten radikalisme dan melindungi anak-anak di ruang digital menunjukkan pendekatan terpadu yang melibatkan pengawasan, edukasi, dan regulasi.
Dukungan dari penegak hukum seperti Densus 88 melengkapi strategi ini dengan tindakan nyata terhadap perekrutan anak secara daring. Pendekatan berbasis risiko dan bukti, penguatan literasi digital, serta sinergi antarinstansi diharapkan dapat menciptakan ruang digital yang aman, sehat, dan kondusif bagi generasi muda.
Perlindungan anak menjadi prioritas yang tidak hanya berupa aturan, tetapi juga implementasi strategis di lapangan untuk memastikan setiap anak dapat menikmati manfaat teknologi tanpa terpapar bahaya radikalisme.