JAKARTA - Indonesia berhasil menorehkan capaian penting di pasar modal regional dengan menempati urutan kedua untuk jumlah penawaran umum perdana (IPO) terbanyak di Asia Tenggara sepanjang 2025.
Prestasi ini menarik karena terjadi di tengah melemahnya aktivitas pasar modal kawasan. Deloitte Southeast Asia mencatat hingga November 2025, total IPO di Asia Tenggara hanya 102 perusahaan, turun dari 136 IPO pada 2024 dan jauh lebih rendah dibanding 163 IPO pada 2023 dan 2022.
Malaysia masih menjadi bursa paling aktif dengan 48 IPO, meski mengalami penurunan dari 55 IPO tahun sebelumnya. Indonesia menempati posisi kedua dengan 24 IPO, menurun tajam dari 41 IPO pada 2024 dan 79 IPO pada 2023.
Sementara itu, Thailand mencatat 17 IPO, turun dari 32, Vietnam hanya dua IPO, Filipina juga dua, dan Singapura menjadi satu-satunya pasar yang meningkat dari empat IPO menjadi sembilan.
Tay Hwee Ling, Capital Markets Services Leader Deloitte Southeast Asia, menyatakan tren penurunan jumlah IPO sudah terlihat sejak 2023. Meski begitu, posisi Indonesia tetap menunjukkan kekuatan pasar modal nasional, mengingat banyak perusahaan masih memilih mencatatkan sahamnya di bursa lokal.
Nilai Dana IPO Justru Menguat
Walaupun jumlah IPO menurun, nilai dana yang berhasil dihimpun meningkat signifikan. Sepanjang 2025, 102 IPO di Asia Tenggara berhasil menghimpun dana sebesar 5,6 miliar dollar AS dengan kapitalisasi pasar 37,7 miliar dollar AS.
Jumlah ini lebih tinggi dibanding 106 IPO pada 2024 yang hanya menghimpun 3,7 miliar dollar AS dengan kapitalisasi pasar 19,1 miliar dollar AS.
Pada semester pertama 2025, tercatat 53 IPO dengan total dana 1,4 miliar dollar AS. Semester kedua justru menunjukkan dana lebih besar meski jumlah IPO lebih sedikit, yaitu 49 IPO dengan total dana 4,2 miliar dollar AS.
Dengan demikian, rata-rata dana per IPO meningkat menjadi sekitar 55 juta dollar AS, dibanding 27 juta dollar AS pada 2024.
Selain itu, sepanjang 2025 terdapat empat “blockbuster IPO” yang masing-masing menghimpun dana lebih dari 500 juta dollar AS. Tidak hanya itu, 11 IPO memiliki kapitalisasi pasar lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan meski jumlah IPO menurun, nilai dan kualitas penawaran semakin besar dan signifikan.
Pergeseran Dinamika Pasar
Tay menekankan bahwa perkembangan pasar IPO perlu dilihat dari tiga indikator utama: jumlah IPO, total dana yang dihimpun, dan kapitalisasi pasar.
Pergeseran dinamika sejak 2023 membuat ukuran IPO semakin besar, meski volumenya menurun. Hal ini menunjukkan investor cenderung menaruh modal pada perusahaan mapan dengan prospek pertumbuhan tinggi.
Fenomena ini sekaligus menegaskan daya tarik pasar modal Indonesia di ASEAN. Emiten yang melantai saat ini cenderung berkualitas tinggi dan siap menghadapi risiko pasar, sehingga meskipun jumlah IPO lebih sedikit, pasar tetap menarik bagi investor institusi dan ritel.
Selain itu, tren ini menunjukkan selektivitas yang meningkat di pasar saham. Investor kini lebih memperhatikan fundamental perusahaan daripada sekadar jumlah IPO yang banyak, sehingga nilai kapitalisasi per perusahaan meningkat.
Prospek Pasar Modal Indonesia
Indonesia tetap menjadi pasar yang potensial untuk IPO meski aktivitas regional melemah. Penurunan jumlah IPO di kawasan tidak serta-merta menurunkan minat investor terhadap perusahaan yang masuk bursa.
Reformasi regulasi, insentif pemerintah, dan peningkatan tata kelola perusahaan turut mendukung ketahanan pasar modal nasional.
Tay menyebutkan bahwa kombinasi jumlah IPO yang lebih sedikit tetapi nilai yang dihimpun lebih tinggi mencerminkan pasar yang matang. Investor kini lebih selektif dan berfokus pada perusahaan yang memiliki prospek kuat dan struktur modal yang solid.
Dengan demikian, pasar modal Indonesia tetap kuat di tengah tantangan regional. Dinamika pasar menunjukkan bahwa kualitas penawaran menjadi kunci utama, sementara kuantitas IPO cenderung menyesuaikan dengan kondisi makroekonomi dan preferensi investor.