Penyesuaian PPN Dorong Industri Nasional Menjadi Lebih Kompetitif dan Adaptif

Selasa, 18 November 2025 | 10:49:12 WIB
Penyesuaian PPN Dorong Industri Nasional Menjadi Lebih Kompetitif dan Adaptif

JAKARTA - Gagasan mengenai penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) kembali mencuri perhatian setelah Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) menyampaikan usulan strategis untuk mempercepat pemulihan ekonomi. 

Usulan ini lahir dari kegelisahan pelaku industri yang merasakan langsung dampak pelemahan konsumsi dan penundaan ekspansi di berbagai perusahaan manufaktur.

Ketua Umum HKI Akhmad Ma’ruf Maulana menjelaskan bahwa pihaknya mengusulkan skema penurunan tarif PPN secara bertahap. Usulannya dimulai dari angka 11% yang berlaku saat ini menuju 10%, kemudian berlanjut ke 9% dan akhirnya mencapai 8% dalam beberapa tahun mendatang. 

Menurutnya, penurunan bertahap adalah pendekatan yang paling realistis bagi pemerintah sekaligus memberi ruang lebih besar bagi pertumbuhan konsumsi.

“Skema bertahap ini dinilai lebih realistis bagi pemerintah, sekaligus memberikan ruang lebih besar bagi pertumbuhan konsumsi dan ekspansi kawasan industri,” ujar Akhmad. 

Ia menegaskan bahwa meski kenaikan PPN bukan satu-satunya pemicu pelemahan ekonomi, tekanan konsumsi yang terjadi belakangan ini sangat terasa, khususnya di sektor manufaktur.

Pelemahan permintaan membuat berbagai perusahaan industri menahan rencana ekspansi mereka. Bahkan beberapa perusahaan mengalami penurunan penjualan yang cukup signifikan. Kondisi ini, menurut HKI, perlu ditangani melalui kebijakan fiskal yang dapat menggerakkan kembali minat belanja masyarakat.

Tantangan Konsumsi dan Dampaknya Terhadap Manufaktur

HKI menilai bahwa konsumsi masyarakat merupakan komponen penting dalam menjaga stabilitas industri. Ketika konsumsi melemah, pabrik-pabrik tidak lagi beroperasi pada kapasitas optimal dan beberapa rencana pengembangan pun terpaksa ditunda. 

Akhmad menyampaikan bahwa tekanan dari sisi permintaan bukan hanya dipengaruhi kondisi global, tetapi juga kebijakan tarif yang memberi beban tambahan pada pasar.

“Penurunan tarif secara bertahap akan membantu memulihkan keyakinan konsumen dan menggerakkan kembali produksi,” tuturnya. Pandangan ini muncul dari kenyataan bahwa setiap penurunan satu persen tarif PPN diperkirakan akan mengurangi pendapatan negara sekitar Rp70 triliun. 

Namun, proyeksi tersebut tidak memasukkan potensi peningkatan transaksi yang bisa terjadi ketika konsumsi kembali pulih.

HKI percaya bahwa ketika tarif diturunkan, masyarakat memiliki dorongan lebih besar untuk melakukan pembelian. Kondisi ini kemudian dapat meningkatkan volume transaksi sehingga basis pajak menjadi lebih luas. Dalam skenario tersebut, penerimaan PPN secara keseluruhan dapat tetap membaik meskipun tarif diturunkan.

Peningkatan konsumsi juga akan memberikan sinyal positif bagi pelaku industri untuk kembali mengaktifkan kapasitas produksi. Dalam banyak kasus, perusahaan dapat menambah shift, meningkatkan pemesanan bahan baku, hingga menghidupkan kembali rencana ekspansi yang sebelumnya tertunda.

Kontribusi Penyesuaian Tarif bagi Pertumbuhan Kawasan Industri

Bagi HKI, penurunan tarif PPN bukan hanya kebijakan fiskal, tetapi juga langkah penting dalam menghidupkan kembali aktivitas ekonomi di kawasan industri. Ketika permintaan membaik, pabrik akan terdorong untuk meningkatkan kapasitasnya. 

Aktivitas ini bukan hanya berdampak pada operasional internal perusahaan, tetapi juga menimbulkan efek domino terhadap kawasan industri yang menampungnya.

HKI menyebut bahwa tarif 10% pada tahun pertama pelaksanaan dapat membantu mengembalikan stabilitas industri. Sementara tarif 9% dan 8% dalam periode berikutnya akan menjadi akselerator pertumbuhan yang mendorong masuknya investasi baru. 

“Dampaknya langsung terasa, permintaan lahan naik, investasi baru masuk, dan kawasan industri menjadi pusat kegiatan ekonomi,” kata Akhmad.

Selain itu, HKI mengaitkan usulan penyesuaian tarif ini dengan ambisi pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Menurut mereka, target tersebut hanya dapat dicapai apabila konsumsi rumah tangga kembali kuat dan industri bergerak lebih agresif. 

“Tidak ada pertumbuhan 8% tanpa konsumsi yang pulih dan tidak ada industri yang tumbuh tanpa pasar yang hidup. Penurunan PPN adalah langkah nyata untuk mempercepat keduanya,” jelasnya.

Dalam pandangan pelaku kawasan industri, permintaan yang meningkat juga akan memicu perusahaan untuk mencari lahan baru, memperluas fasilitas produksi, dan berinvestasi pada teknologi yang lebih efisien. Aktivitas ini pada akhirnya akan memperkuat peran kawasan industri sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

Kebutuhan Strategi Pendukung dan Percepatan Investasi

Untuk memastikan manfaat penurunan PPN dapat terealisasi secara optimal, HKI menekankan pentingnya langkah pendukung yang harus dijalankan bersamaan. Salah satu fokus utama adalah percepatan realisasi investasi, khususnya yang berkaitan dengan kawasan industri prioritas.

Akhmad menilai bahwa pembentukan Pokja atau Satgas Percepatan Investasi sangat penting agar minat investor yang sudah muncul dapat segera berubah menjadi proyek nyata. Ia menyoroti pentingnya penyederhanaan perizinan, penyediaan lahan yang siap pakai, serta percepatan pembangunan utilitas dan infrastruktur.

HKI juga menekankan perlunya harmonisasi antara peningkatan permintaan yang diharapkan muncul dari penurunan tarif PPN dan kesiapan kawasan industri untuk menampung investasi baru. Tanpa kesiapan tersebut, potensi pertumbuhan bisa tidak optimal karena hambatan teknis yang sebenarnya dapat diantisipasi lebih awal.

Dalam kerangka yang lebih luas, HKI berharap kombinasi antara kebijakan fiskal yang mendukung dan percepatan investasi mampu menciptakan suasana positif di kalangan pelaku industri. 

Dengan demikian, penurunan PPN bukan hanya menjadi insentif jangka pendek, tetapi juga pendorong transformasi industri menuju keberlanjutan dan daya saing yang lebih kuat dalam jangka panjang.

Terkini