Wacana WNA di Direksi Pertamina Bisa Ubah Peta Persaingan Migas

Rabu, 22 Oktober 2025 | 12:23:12 WIB
Wacana WNA di Direksi Pertamina Bisa Ubah Peta Persaingan Migas

JAKARTA - Rencana pemerintah membuka peluang bagi warga negara asing (WNA) untuk menduduki posisi strategis di PT Pertamina (Persero) tengah menjadi sorotan publik. 

Langkah ini dinilai dapat memperkuat daya saing industri migas Indonesia, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran terhadap berkurangnya kendali negara di sektor strategis tersebut.

Direktur NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan, menyebut keterlibatan WNA dalam jajaran direksi BUMN migas bisa menjadi pemicu perubahan besar. Menurutnya, kehadiran ekspatriat berpotensi meningkatkan efisiensi, memperbaiki tata kelola, dan memperkuat posisi Indonesia dalam kompetisi energi global.

“Persaingan di industri akan makin ketat karena asing yang masuk biasanya memiliki modal besar sehingga ruang ekspansinya lebih terbuka,” ujar Herry saat dihubungi.

Potensi Peningkatan Efisiensi dan Tata Kelola

Herry menilai kehadiran tenaga asing di level strategis bukan semata persoalan nasionalisme, tetapi juga tentang bagaimana menciptakan ekosistem industri yang efisien dan kompetitif.

 Menurutnya, profesional asing umumnya membawa pengalaman manajerial yang kuat, akses pada teknologi terkini, serta disiplin tata kelola yang bisa menular pada perusahaan pelat merah.

Lebih jauh, ia menilai bahwa keberadaan WNA di manajemen juga dapat mengurangi intervensi politik yang kerap mewarnai BUMN sektor migas dan tambang.

 “Selama ini BUMN banyak diisi oleh orang partai politik dan pejabat pemerintahan. Dengan masuknya asing, intervensi kekuasaan akan semakin berkurang,” tegasnya.

Payung Hukum Penempatan WNA di BUMN

Secara regulasi, wacana ini bukan tanpa dasar. Herry menjelaskan bahwa penunjukan WNA di jajaran direksi BUMN dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 mengenai BUMN.

“Dalam Pasal 15A Ayat (1a) disebutkan syarat direksi adalah warga negara Indonesia. Namun, di Ayat (3) dijelaskan, persyaratan itu dapat ditentukan lain oleh BP BUMN. Jadi kalau BP BUMN mau isi WNA, maka diperbolehkan oleh UU,” terang Herry.

Artinya, peluang bagi tenaga asing untuk menduduki jabatan puncak di perusahaan pelat merah terbuka secara hukum, sejauh mendapat persetujuan dari Badan Pengelola BUMN (BP BUMN).

Risiko bagi Fungsi Pelayanan Publik

Meski menyadari potensi manfaatnya, Herry juga mengingatkan bahwa kebijakan ini tidak lepas dari risiko. Di sektor migas, misalnya, fungsi pelayanan publik atau public service obligation (PSO) bisa terpengaruh.

“Fungsi PSO rentan terganggu dan pengaruh pemerintah dalam menentukan arah kebijakan bisa menurun. Bahkan berpotensi tidak dapat dijadikan kendaraan untuk mendukung program pemerintah,” ujarnya.

Menurut Herry, kehadiran asing sebaiknya difokuskan pada kerja sama operasional ketimbang penguasaan langsung. Dengan model itu, BUMN tetap bisa memperoleh transfer teknologi dan pembagian risiko tanpa kehilangan kontrol strategis.

“BUMN bisa berbagi beban dan risiko, begitu pun dengan modal dan teknologi. Mungkin akan makin sepi berita terkait dengan korupsi di BUMN karena ada kontrol asing di operasional dan produksi,” tambahnya.

Menjaga Kepentingan Nasional di Tengah Globalisasi

Bagi Herry, tantangan utama bukanlah pada keterlibatan asing itu sendiri, melainkan pada bagaimana pemerintah menjaga kepentingan nasional di tengah arus globalisasi ekonomi. 

Ia menekankan pentingnya menciptakan iklim investasi yang sehat dan kompetitif, tanpa mengorbankan kedaulatan negara di sektor energi.

“Kalau sektor usaha tumbuh dengan baik, negara akan dapat pajak dan pertumbuhan ekonomi akan terdongkrak,” ujarnya.

Pemerintah, menurutnya, juga harus menetapkan batasan yang jelas bagi investor asing, termasuk kewajiban untuk menggandeng usaha kecil dan menengah (UKM), memprioritaskan mitra lokal, serta membatasi pembagian dividen agar laba dapat diputar kembali menjadi investasi di dalam negeri.

“Kalau pemerintah masih mau memiliki kontrol terhadap BUMN yang sudah diprivatisasi, pilihannya ada dua: menjaga kepemilikan saham mayoritas atau membuat perjanjian antar pemegang saham agar pemerintah tetap menjadi pengendali,” jelas Herry.

Pemerintah Buka Peluang, tapi Tetap Prioritaskan Putra Daerah

Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa pemerintah tidak menutup kemungkinan ekspatriat menduduki posisi direksi di Pertamina. “Tidak menutup kemungkinan,” ujarnya.

Pernyataan tersebut muncul setelah PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menunjuk dua ekspatriat dalam jajaran direksinya, yakni Balagopal Kunduvara sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko serta Neil Raymond Mills sebagai Direktur Transformasi.

Kebijakan ini sejalan dengan UU BUMN, yang menegaskan bahwa penyelenggaraan BUMN harus didukung sumber daya manusia profesional dan berdaya saing global.

Presiden Prabowo Subianto pun menegaskan pandangan serupa. Ia menyebut bahwa Danantara sebagai pengelola BUMN diberi kewenangan untuk merekrut talenta terbaik, termasuk dari luar negeri.

“Kita bisa mencari otak dan talenta terbaik. Sekarang ekspatriat dan non-Indonesia bisa memimpin BUMN,” ujar Prabowo.

Namun, ia menegaskan bahwa penempatan WNA tetap merupakan opsi terakhir, dengan prioritas utama tetap diberikan kepada putra-putri Indonesia. Wacana keterlibatan ekspatriat di tubuh Pertamina menandai babak baru dalam evolusi tata kelola BUMN migas. 

Di satu sisi, kebijakan ini dapat meningkatkan efisiensi, daya saing, dan transparansi. Namun di sisi lain, pemerintah perlu menyiapkan mekanisme pengawasan ketat agar kedaulatan energi nasional tetap terjaga.

Jika dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, kombinasi keahlian lokal dan global justru bisa menjadi pendorong bagi lahirnya BUMN yang lebih profesional, transparan, dan kompetitif di kancah internasional — tanpa kehilangan identitas nasionalnya.

Terkini