Udara Jakarta Kian Buruk, Warga Diminta Gunakan Masker

Senin, 20 Oktober 2025 | 10:38:49 WIB
Udara Jakarta Kian Buruk, Warga Diminta Gunakan Masker

JAKARTA - Kualitas udara di Jakarta kembali menjadi perhatian publik setelah menempati posisi kelima sebagai kota dengan udara terburuk di dunia pada Senin pagi. 

Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir pukul 05.50 WIB, indeks kualitas udara (AQI) Ibu Kota mencapai 183, yang tergolong dalam kategori tidak sehat dengan konsentrasi polutan PM2,5 sebesar 100,5 mikrogram per meter kubik.

Kondisi ini menandakan bahwa udara Jakarta berpotensi membahayakan kesehatan kelompok sensitif seperti anak-anak, lansia, dan penderita gangguan pernapasan. Tidak hanya itu, polusi ini juga dapat berdampak negatif pada hewan, tanaman, serta menurunkan nilai estetika lingkungan.

IQAir pun menyarankan masyarakat untuk menghindari aktivitas di luar ruangan. Bila terpaksa beraktivitas di luar, warga diminta menggunakan masker dan menutup jendela rumah agar udara kotor dari luar tidak masuk ke dalam ruangan.

Memahami Kategori Kualitas Udara Menurut IQAir

Menurut klasifikasi IQAir, kualitas udara dikategorikan dalam beberapa tingkatan berdasarkan kadar PM2,5.

Kategori baik (0–50): Udara bersih, tidak berdampak pada kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan.

Kategori sedang (51–100): Tidak berdampak pada kesehatan manusia, tetapi dapat memengaruhi tumbuhan sensitif dan estetika lingkungan.

Kategori tidak sehat (151–200): Berisiko bagi kelompok sensitif dan dapat menyebabkan efek jangka panjang bagi kesehatan.

Kategori sangat tidak sehat (200–299): Dapat merugikan kesehatan berbagai segmen populasi.

Kategori berbahaya (300–500): Menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan secara umum.

Dengan angka 183, udara Jakarta berada di kategori tidak sehat, yang berarti tidak aman untuk aktivitas luar ruangan dalam jangka waktu lama.

Dibandingkan Kota-Kota Dunia, Jakarta Masih Tertinggal

Meski bukan yang terburuk, posisi Jakarta tetap mengkhawatirkan karena berada di urutan kelima dari daftar kota dengan udara paling tercemar di dunia. Di atas Jakarta, terdapat empat kota besar lainnya dengan tingkat polusi jauh lebih tinggi:

Delhi, India – AQI 425

Lahore, Pakistan – AQI 252

Kuwait City, Kuwait – AQI 188

Mumbai, India – AQI 182

Peringkat tersebut menunjukkan bahwa polusi udara bukan hanya masalah lokal, melainkan isu global yang dialami banyak kota metropolitan dengan tingkat urbanisasi tinggi.

Jakarta Miliki Sistem Pemantauan Udara Terluas di Indonesia

Meski kondisi udara sedang buruk, DKI Jakarta sejatinya telah memiliki jaringan pemantauan kualitas udara paling komprehensif di Indonesia. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, menjelaskan bahwa saat ini terdapat 111 Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) yang aktif di seluruh wilayah Ibu Kota.

“Sistem pemantauan ini merupakan kombinasi antara stasiun referensi dan sensor berbiaya rendah (Low-Cost Sensor atau LCS) yang dipasang di berbagai titik strategis,” ujar Asep di Jakarta.

Melalui sistem terintegrasi tersebut, DLH dapat memantau kondisi udara secara real-time dan mengambil langkah mitigasi lebih cepat ketika terjadi peningkatan polusi.

Kolaborasi Lintas Sektor untuk Kendalikan Polusi

Pemprov DKI Jakarta tidak bekerja sendiri dalam memantau dan menanggulangi polusi udara. Jaringan SPKU ini merupakan hasil kolaborasi antara DLH DKI, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), BMKG, organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, serta mitra sektor swasta.

Menurut Asep, kolaborasi ini menjadi kunci penting untuk memastikan data yang dihasilkan lebih akurat dan dapat digunakan sebagai dasar kebijakan publik. “Melalui kerja sama lintas sektor, kami bisa mempercepat respon terhadap kondisi udara yang memburuk,” ujarnya.

Selain itu, kerja sama tersebut juga memungkinkan adanya transparansi data sehingga masyarakat dapat memantau kondisi udara secara langsung melalui berbagai platform digital.

Siapkan Sistem Peringatan Dini Polusi Udara

Sebagai langkah antisipatif, Pemprov DKI juga tengah menyiapkan sistem peringatan dini (early warning system/EWS) untuk polusi udara. 

Sistem ini akan membantu mendeteksi potensi peningkatan pencemaran dan memberikan peringatan cepat kepada masyarakat agar dapat melakukan langkah pencegahan.

“EWS ini diharapkan dapat memberikan informasi yang responsif dan tepat waktu, terutama bagi kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap polusi,” jelas Asep.

Dengan adanya sistem ini, warga bisa segera menyesuaikan aktivitas mereka ketika kualitas udara menurun drastis, seperti mengurangi waktu di luar ruangan atau menunda kegiatan fisik berat.

Langkah Kecil Warga, Dampak Besar bagi Lingkungan

Selain kebijakan pemerintah, partisipasi masyarakat juga menjadi faktor penting dalam memperbaiki kualitas udara Jakarta. Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, menanam pohon, serta beralih ke transportasi umum ramah lingkungan dapat membantu menekan emisi karbon di perkotaan.

Pemakaian masker, menutup jendela, serta mengatur sirkulasi udara dalam rumah adalah langkah-langkah kecil yang bisa dilakukan setiap hari untuk melindungi diri dari dampak buruk polusi.

Harapan untuk Langit Jakarta yang Lebih Biru

Kualitas udara Jakarta yang kini berada di peringkat kelima terburuk di dunia seharusnya menjadi peringatan serius bagi seluruh pihak — pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat — untuk memperkuat upaya pengendalian emisi.

Melalui sistem pemantauan yang semakin canggih dan kesadaran publik yang meningkat, ada harapan bahwa Ibu Kota perlahan dapat keluar dari daftar kota dengan udara terburuk.

Jika langkah mitigasi terus ditingkatkan dan kebijakan ramah lingkungan dijalankan secara konsisten, bukan mustahil di masa depan langit Jakarta kembali biru dan udara menjadi lebih sehat untuk semua.

Terkini